Kamis, 14 Agustus 2008

kabar gembira

Alhamdulillah...

Ada sms dari keluarga Arky bahwa ananda Arky diterima di FK UI
Semoga berhasil ya.

Semalam Fitry bercerita tentang serunya diskusi bersama tgeman-teman mahasiswa baru.
Ada anak yang mencoba berempati. Dikiranya anak homeschooling tidak terbiasa dengan riuh rendah orang berdiskusi. Dengan tangkas dijawab Fitry bahwa dia justru lebih sering berdiskusi dengan berbagai kalangan setelah pindah jalur ke homeschooling. Wah!

Sayangnya ada sms masuk dari pendamping anak jura dari SMA N17 Bandung korban UN 2008. Kabarnya ananda tidak lulus UNPK Paket C 2008. Bagaimana nasib kuliah di UIN nya. Ananda dinyatakan masuk lewat PMDK oleh UIN, sempat terhambat pendaftaran karena tidak lulus UN. Setelah didampingi para 'advokat' KerLiP akhirnya bisa mendaftarkan diri ke UIN dan melengkapi ijazah Paket C nya setelah lulus UNPK Paket C. Kabar berikutnya bekum diterioma dari Ova dkk.

Selasa, 05 Agustus 2008

Tapi bukankah kita membutuhkan sebuah alat ukur untuk keberhasilan?

Pertanyaaan ini jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Apakah obyektivitas sungguh merupakan sebuah tujuan yang diharapkan—atau yang realistis? Diperkirakan, sebuah tugas yang “obyektif” adalah tugas yang tidak bergantung kepada faktor subyektif seperti kepercayaan dan harga dari perbedaan individu; setiap orang harus setuju bahwa sesuatu merupakan baik atau buruk tetap ketidaksetujuan adalah sebuah fakta kehidupan, dan itu bukan hal yang perlu dijauhi. Kau dan aku akan memiliki perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari dalam politik dan budaya, tentang kualitas film-film yang kita tonton dan makanan yang kita telan. Merupakan sebuah hal yang ganjil dan mengganggu bahwa dalam mendidik anak “kita mengharapkan sebuah tugas dengan standar yang berbeda dari normal sepanjang hidup kita.”6

Terlalu banyak standarisasi mengarah kepada sebuah usaha untuk berpura-pura bahwa evaluasi bukan merupakan keputusan ultimatum, bahwa subyektivitas dapat dilampaui. Ini adalah ilusi yang berbahaya. Ahli penguji selalu terlihat mengejar cawan suci dari “ketergantungan antar-pengukur”(“interrater reliability,”) tetapi tidak ada alasan untuk berharap bahwa orang-orang akan selalu melihat dengan mata kepala sendiri tentang harga dari apa yang sudah dikerjakan para pelajar. Jika mereka melakukannya, itu berarti antara bahwa mereka telah menyingkirkan pendapat mereka sendiri dengan patuh dalam rangka memenuhi kriteria orang lain secara membabi buta, atau bahwa tugas yang dipertanyakan cukup dangkal. Sebagai contoh, lebih mudah mendapatkan tugas dimana titik-komanya telah digunakan dengan benar dibanding sebuah esai yang menampilkan pemikiran yang jernih. Pencarian obyektivitas mungkin membimbing kita untuk mengukur pelajar pada dasar kriteria yang jauh lebih tidak penting.7

Tetapi, demi argumen, mari kita menyimpulkan bahwa tugas yang obyektif adalah memungkinkan dan diinginkan. Poin yang paling penting adalah bahwa ujian terstandarisasi tidak menyediakan obyektivitas semacam itu. Hal yang mudah untuk menyimpulkan sebaliknya saat tepat sebuah skor angka telah diberikan kepada pelajar maupun sekolah. Akan tetapi proses pengujian itu sendiri sama sekali bukan seperti, katakanlah, mengukur panjang atau berat suatu benda. Hasilnya mungkin terdengar ilmiah, tetapi sebetulnya mereka muncul dari interaksi antara dua jenis kumpulan manusia: orang dewasa tidak terlihat yang membuat soal, dan barisan anak-anak, dijejali ke bangku-bangku, tanpa henti menulis (atau mengisi bulatan-bulatan).
Pertama, kita perlu tahu tentang isi dari ujian. Apakah kita mengukur hal yang penting? Seseorang dapat mengatakannya sebagai sebuah hal yang “obyektif” dalam artian dikerjakan oleh mesin, tetapi manusialah yang membuat pertanyaannya (yang bisa jadi terbias atau keruh atau bodoh) dan manusialah yang menentukan untuk memasukkannya ke dalam ujian. Keraguan yang wajar seringkali dapat ditingkatkan tentang jawaban manakah yang dapat diterima, bahkan dalam tingkat sekolah dasar, dimana kau mngkin mengira pertanyaannya akan lebih tepat sasaran. Sehingga, membaca karya narasi anak yang berpikir melalui pertanyaan yang diberikan dan sampai pada jawaban yang didikte—hanya untuk menyadari bahwa jawaban-jawaban tersebut telah ditandai sebagai jawaban yang salah8—berarti memahami keterbatasan dari instrumen-instrumen tugas obyektif yang bereputasi baik.

Pentingnya skor bahkan menjadi lebih meragukan lagi saat kita berfokus pada pengalaman para pelajar. Contohnya, kegugupan saat ujian telah tumbuh menjadi salah satu bidang cabang dari psikologi pendidikan, dan kewajarannya berarti bahwa ujian menghasilkan reaksi seperti ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang bagus bagi kita semua tentang apa yang betul-betul diketahui atau dapat dilakukan para pelajar. Semakin banyak ujian yang digunakan untuk “menghitung”—dalam artian menjadi dasar untuk mempromosikan atau menahan pelajar, untuk mendanai atau menutup sebuah sekolah—semkain tumbuh keraguan itu dan hasil ujiannya menjadi semakin buruk.

Kemudian ada para pelajar yang menjalani ujian tetapi tidak menganggapnya serius. Seorang teman saya ingat dengan jelas mengisi bulatan-bulatan itu dengan pensil hingga membentuk sebuah pohon Natal. (Dia dipindahkan ke kelas tingkat-rendah untuk itu, karena skornya dalam hanya satu ujian menjadi bukti yang menentukan apa yang orang lain lihat akan kemampuannya.) Bahkan para pelaksana-ujian yang tidak terlalu kreatif bisa saja secara acak menebak jawabannya, mengisi bulatannya, atau tidak mengerjakan seluruh soal, dapat dimengerti menganggapnya sebagai buang-buang waktu. Singkatnya, bisa jadi bahwa cukup banyak pelajar yang dalam satu sisi tidak peduli dengan ujian, atau sangat peduli sampai mereka dapat tersedak kapanpun, di sisi lain. Sisi manapun, hasil skor sama sekali tidak berarti. Siapapun yang dapat menghubungkan pada penjabaran ini tentang apa yang ada di dalam pikiran pelajar yang sungguh-sungguh pada hari ujian, harus berpikir kembali sebelum merayakan nilai ujian yang tinggi, mengeluh tentang yang rendah, atau menggunakan ujian terstandarisasi untuk menilai sekolah-sekolah...dari Alfie Kohn terjemahan Fitry

Apakah UN/UASBN realistis?

Semakin kau berpikir tentang apa yang “realistis”, seharusnya kau semakin kritis tentang ujian terstandarisasi. Berapa banyak pekerjaan yang mengharuskan para pekerjanya menjawab dengan benar di tempat, dari ingatan, saat waktu berjalan? (Aku dapat memikirkan satu atau dua, tapi mereka adalah pengecualian yang membuktikan aturannya.) Seberapa sering kita dilarang bertanya pada rekan kerja kita untuk membantu, atau untuk bergantung pada organisasi yang lebih besar untuk dukungan—bahkan di sebuah lingkungan masyarakat yang mengagungkan kemandirian? Dan saat seseorang akan menilai kualitas dari pekerjaanmu, apakah kau seorang pematung, penjaga pantai, analis keuangan, profesor, pembantu rumah tangga, pereparasi kulkas, wartawan, atau seorang terapis, seberapa sering kau diberikan ujian tertulis yang dirahasiakan? Bukankah lebih mungkin kalau penilai melihat apa yang telah kau kerjakan, atau mungkin melihatmu menampilkan tugas-tugasmu yang biasanya? Agar konsisten, para kritikus pendidikan—yang dengan marah bersikeras bahwa sekolah seharusnya melakukan yang lebih banyak untuk menyiapkan para pelajar untuk dunia yang sesungguhnya—seharusnya menetapkan sebuah akhir dari ujian-ujian buatan semacam itu yang disebut ujian terstandarisasi...Alfie Kohn diterjemahkan ananda Fitry

Jumat, 01 Agustus 2008

Indonesia kembali berkabung

Kematian Septian Catur Wibowo, bocah 13 tahun yang nekad mengakhiri hidupnya karena kecewa tidak diterima di SMP Negeri di Sidoarjo menambah daftar korban Ujian Nasional yang dijadikan seleksi untuk melanjutkan pendidikan. Korban menuliskan bahwa dia tidak ingin membebani orangtua dengan mahalnya biaya sekolah swasta. Duh!

Jangan biarkan bumi pertiwi ini terus menerus menangisi kepergian anak-anak karena kebijakan para pemimpin yang tak bergeming sedikitpun untuk memperhatikan kepentingan terbaik anak.

Kampanye partai sudah ramai di berbagai daerah, pilkada pun satu per satu dituntaskan. Sudah saatnya menyerukan kembali JANGAN PILIH PEMIMPIN/PARTAI POLITIK YANG MENJADIKAN UN/UASBN SEBAGAI PENENTU KELULUSAN.

Rabu, 30 Juli 2008

Kabar Gembira

Alhamdulillah

Ananda Nurul Fitry Azizah lulus dari UNPK Paket C 2008. Pada hari yang sama surat tanda terima penangguhan pendaftaran sebagai Mahasiswa Baru FIB UI sampai di rumah. Syukurlah. Di tengah padatnya kegiatan saya dalam menyiapkan advokasi kasus Pak Iwan yang terkait langsung dengan kebijakan UN 2007, ananda Fitry siap masuk gerbang kemandirian dalam belajar.

Mohon doa

Lembaga Evaluasi Mandiri FGII

Para penggiat pendidikan alternatif,

Menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 13 Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Selain mengembangkan profesionalitas guru, organisasi profesi guru mempunyai kewenangan untuk memajukan pendidikan nasional seperti yang disebutkan pada pasal 42.

Lembaga evaluasi mandiri segera dibentuk FGII untuk menjalankan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Lembaga Evaluasi Mandiri FGII ini akan diprioritaskan untuk memberikan kontribusi nyata dalam pengakuan dan akuntabilitas terhadap berbagai model pendidikan alternatif yang dikembangkan kawan-kawan.

Beberapa referensi terkait yang non standardized test sedang dilengkapi dan dipelajari. Direncanakan Lembaga Evaluasi Mandiri ini akan merangkul kawan-kawan penggiat pendidikan alternatif untuk diskusi terfokus mengenai model evaluasi terprogram yang diharapkan dapat mengembalikan hak anak untuk dievaluasi oleh pendidiknya untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Nampaknya yang akan muncul dalam bentuk assesment capaian indikator oleh satuan pendidikan masing-masing yang akan dipublikasikan secara regular. Masyarakat lah yang akan menilai akuntabilitas setiap hasil evaluasi belajar di setiap satuan pendidikan tersebut.

Salam

Senin, 28 Juli 2008

pembungkaman guru korban UN

SURAT PROTES

Berdasarkan Keputusan Walikota Bandung Nomor 862/kep.611-peg/2007, Sdr.Iwan Hermawan, S.Pd NIP 131 560 504 pangkat pembina golongan ruang IV/a guru pembina SMA Negeri 9 Kota Bandung dikenakan hukuman disiplin sedang berupa penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun.

Pemberian sanksi tersebut dilatarbelakangi atas “Tuduhan” terhadap Sdr Iwan Hermawan, S. Pd, yang dinyatakan telah menyebarkan berita tidak berdasar yaitu kebocoran sejak hari pertama Ujian Nasional tingkat SMA/SMK/MA tahun pelajaran 2006-2007 sehingga menimbulkan keresahan dikalangan siswa. Perbuatan diatas dinyatakan melanggar pasal 2 huruf b,c, f dan l jo pasal 3 huruf G PP 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Menurut pandangan kami :

  1. Bahwa intervensi pemerintah dalam penentuan kelulusan peserta didik karena kebijakan UN dan UASBN telah merampas hak pedagogis guru dan mengorbankan hak anak. Desakan sejumlah warganegara kepada pemerintah untuk merevisi PP no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi sumber kontroversi kebijakan UN/UASBN tidak diindahkan. Pasal tentang kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa dalam bentuk UN dan UASBN menuai berbagai kontroversi termasuk penyebaran kunci jawaban yang menyesatkan seperti yang diberitakan berbagai media cetak maupun elektronik.
  2. Berbagai upaya pemantauan terhadap pelaksanaan UN oleh berbagai kalangan termasuk oleh organisasi profesi tidak digunakan pemerintah sebagai masukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Tetapi sebaliknya pihak pemantau dinilai melanggar norma-norma hukum maupun kode etik kepegawaian
  3. Di Kota Bandung, Sdr.Iwan Hermawan, SPd adalah salah satu Guru PNS yang ditugaskan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kota Bandung untuk memantau pelaksanaan UN tahun 2007, ternyata menghadapi intimidasi, bahkan direkomendasikan oleh Mendiknas untuk dikenakan sanksi. Padahal berdasarkan Surat Komnas HAM Nomor 180/Rek/S-Ekosob/VI/07 tanggal 6 Juni 2008 kepada Mendiknas, bila fakta ini benar, maka patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM. Padahal Mendiknas sudah diminta untuk mengambil langkah-langkah nyata agar hak-hak Sdr Iwan Hermawan terlindungi dan terpenuhi. Mendiknas sama sekali tidak memperhatikan rekomendasi Komnas HAM ketika menyampaikan Surat Nomor 341/RHS/MPN/2007 tanggal 18 Juni 2007 kepada pemerintah kota Bandung
  4. Berdasarkan temuan dan hasil kajian atas kunci jawaban UN yang beredar di kalangan siswa Sdr. Iwan Hermawan, S.Pd. berinisiatif untuk memberikan peringatan kepada peserta UN untuk tidak mempercayainya, karena hasil kajiannya kunci tersebut menyesatkan seperti diberitakan oleh Pikiran Rakyat, 19 April 2007 dan Republika, 19 April 2007).
  5. Pemberian sanksi terhadap Sdr. Iwan Hermawan, S.Pd, jelas merupakan pelanggaran HAM dan mengindikasikan tindakan pembungkaman tidak hanya terhadap suara kritis guru tapi juga terhadap aktivis pendidikan Kota Bandung dan daerah lainnya di Indonesia.
  6. Terlebih lagi pemberian sanksi kepada Sdr. Iwan Hermawan, S.Pd melanggar prosedur pemberian sanksi disiplin PNS. Pelanggaran sanksi disiplin tersebut diumumkan dalam apel pagi Hari Displin Nasional pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2008 di halaman balai kota Bandung). Sdr Iwan Hermawan, Spd mengetahui adanya sanksi terhadap dirinya dari kepala sekolahnya yang mengikuti upacara tersebut. Pemberian sanksi dispilin seharusnya dilakukan secara tertutup (pasal 14 point 4 PP 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS).
  7. Pemberian sanksi tersebut memberikan dampak negatif bagi individu maupun kelompok peduli pendidikan yang melakukan upaya kritis guna memperbaiki sistem pendidikan nasional agar sesuai dengan amanat konstitusi NKRI.

Maka dengan ini kami menyatakan sikap:

  1. MENOLAK pemberian sanksi kepada Sdr Iwan Hermawan, SPd.
  2. Menuntut kepada pemerintah kota Bandung untuk membatalkan sanksi tersebut
  3. Menuntut kepada pemerintah menghapus kebijakan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan
  4. Mendesak kepada pemerintah untuk membuka ruang kepada semua pihak yang melakukan berbagai upaya kritis terhadap perbaikan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Bandung, 29 Juli 2008

Zamzam (08996933876)

Sekretaris KPKB

Rabu, 09 Juli 2008

Prihatin

Lega campur was-was ketika ananda Fitry diterima di jurusan pilihannya melalui UMB. Sudah dapat diduga bakal rumit prosesnya. Fitry adalah peserta murniUNPK Paket C tanpa mengikuti UN SMA karena memilih belajar mandiri. Pelaksanaan UNPK Paket C yang menjadi pilihan kedua bagi anak-anak korban UN juga mengorbankan anak-anakyang belajar mandiri. Meski sudah diterima melalui UMB, proses pendaftarannya yang mendahului pengumuman UNPK Paket C menjadikan Fitry dan ibunya pontang-panting mencari informasi agar tetap dapat melanjutkan ke PTN jika lulus UNPK.
Antrian panjang sampai ke meja informasi sempat menurunkan mental Fitry. Berkali-kali dia sms karena tak tahu harus melakukan apa lagi untuk meyakinkan panitia pendaftaran di PTN tersebut memahami kondisinya. Ibunya bolak-balik mencari tahu ke Fakultas-PPMT dan Balairung tempat pendaftaran dilaksanakan sambil meyakinkan Fitry untuk menyampaikan kondisi khusus kepada panitia. Akhirnya muncul ketentuan tambahan yang tak pernah diinformasikan sebelumnya : Setiap peserta UNPK 2008 yang lulus UMB harus mengajukan surat permohonan penangguhan pendaftaran sampai 6 Agustus 2008 dengan melampirkan surat keterangan resmi dari Dinas Pendidikan setempat mengenai jadwal pengumuman UNPK dan penjelsan bahwa ananda benar0-benar peserta UNPK Paket C 2008.
Bersyukurlah, advokasi korban UN 2008 memudahkan akses informasi meski harus merelakan biaya yang cukup besar untuk telpon, transport, makan, dst. Bayangkan jika hal ini menimpa korban UN yang mengalami tekanan mental akibat kebijakan UN yang korbankan hak anak. Apalagi jika keluarga anak-anak tersebut tidak memiliki akses untuk mendapatkan kemudahan seperti yang diperoleh Fitry.
Sungguh memprihatinkan nasib anak-anak kita yang dipaksa mengorbankan kegembiraan di masa anak-anak untuk kerja keras yang tidak bermanfaat.

Senin, 23 Juni 2008

jurnal advokasi korban UN di Bandung

1. Rapat Persiapan Konferensi pers (16 Juni 2008)

Dihadiri oleh Helmi dari PII serta Ova, Nur, dan Rijal dari KerLiP. Membicarakan alur konferensi pers, pembagian tugas, dan pengumpulan bahan. Alur konferensi pers yang direncanakan pertama adalah pembukaan, menyatakan maksud dan perkenalan. Kedua, membacakan pers rilis. Pers rilis dibacakan Zamzam. Setelah itu tanya jawab. Keseluruhan alur konferensi pers berfokus pada ekses negatif UN (pra, pelaksanaan, dan pasca), dan pembukaan pos pengaduan dan pendampingan bagi korban UN. Ova bertugas untuk menghubungi wartawan, Nur membuat pers rilis dan surat bagi perguruan tinggi, Helmi dan Rijal melakukan perbaikan terhadap rilis dan surat yang dibuat Nur.

2. Konfrensi Pers Selasa, 17 Juni 2008 di Gedung Indonesia Menggugat

Harusnya dimulai pk 12.00, tapi telat hingga Pk. 13.00. Kerusakan tiba-tiba komputer di rumah Nur mengakibatkan pers rilis belum selesai dibuat. Maka Pk. 05.30 (17/6) diputuskan bahwa pembuatan pers rilis dilimpahkan kepada Ova. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan Nur akan segera dikirim ke email Ova pada Pk. 06.30. Bahan-bahan pembuatan terkirim ke email Ova Pk. 08.00. Secepatnya email segera dibuka dan segera menggunduh bahan-bahan yang dikirim Nur. Ova mengusahakan membuat rilis hingga Pk. 10.00 tetapi belum menghasilkan sesuatu, akhirnya Ova menghubungi Zamzam—menyerahkan pengerjaan pers rilis padanya. Ova ada UAS. Zamzam—mungkin dengan terpaksa—menerima. Ova mengirim bahan-bahan kepada Zamzam. Ova merasa tenang menuju ruang ujian. Setibanya di ruang ujian, ternyata telat.

Keadaan Ova pada waktu ujian seperti ini: tangan kanan memegang pulpen, ditangan kiri handphone. Sambil sesekali mengisi kertas jawaban, Ova mengetik sms, karena banyak yang harus didiskusikan dengan zamzam. Akhirnya ujian selesai, tapi ternyata Ova harus berdiskusi dengan teman kelompok. Di tengah-tengah diskusi Zamzam menelepon (saat itu Pk. 11.20), “Va, kayaknya rilis ga selesai deh, bahan-bahannya kurang euy…”. Bingung, panik, tapi memaksa untuk tenang Ova menjawab, “Ya udah Zam, saya aja yang ngerjain, atau kita sama-sama ngerjain yang selesai duluan langsung ke GIM”. Ova segera menulis rilis dengan laptop pinjaman. Menulis dalam keadaan tertekan, karena pak Iwan menelepon terus-menerus dan mengatakan “saya malu udah undang wartawan tapi kok belum ada yang datang”. Pak Iwan pada saat itu sedang di sekolah karena ada kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB). Sebelumnya Ova sms Zamzam menyuruh dia untuk segera ke GIM dan langsung mulai konferensi pers, rilis biar Ova buat dan langsung di fotokopi. Akhirnya rilis selesai tapi saat itu sudah pukul 12.45. Setelah fotokopi Ova meluncur. Sesampainya di GIM konferensi sudah akan selesai, ternyata pak Iwan (yang tadinya tidak dapat hadir karena mengurus PSB) terpaksa menghadiri karena merasa tidak enak dengan wartawan.

Dihadiri oleh PII: Helmi, Feri; GSB: Aldi; KPKB: Pa Iwan (FAGI), Fridolin Berek (LAK), Ova Huzaefah (KerLiP), Zamzam Muzaki (KerLiP), Rijaludin (KerLiP). Pembicaraan mengarah kepada ekses negatif UN (pasca) dikuatkan dengan penelitian KPAI, juga pada pembukaan posko pengaduan UN bagi yang tidak lulus UN. Teman-teman yang tidak lulus UN tentu mengalami kesedihan, kebingungan serta kesulitan. Bingung dengan apa yang harus dilakukan, sedih karena tidak lulus UN, serta segudang kesulitan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi—terlebih lagi teman-teman lulusan SMK. Selain itu dibahas akurasi dan kualitas penilaian yang tidak adil (kasus Agung yang tidak lulus). Maka kami menuntut pemerintah agar menyerahkan evaluasi belajar kepada pendidik, dan menghimbau masyarakat untuk menggunakan layanan yang kami berikan, serta menghimbau perguruan tinggi agar mau menerima lulusan UNPK.

Press Release

UN KORBANKAN HAK ANAK, ADUKAN SEGERA!!!

UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 dengan tegas menyatakan bahwa “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik……”. Dengan dilaksanakannya UN dan UASBN tahun 2008 yang diikuti sekitar 2.26 juta siswa, lagi-lagi pemerintah inkonsisten dalam melaksanakan UU, pemerintah melanggar UU sisdiknas no 20 tahun 2003. Dengan dilaksanakannya UN dan UASBN tahun ini, makin banyak lagi korban UN yang berjatuhan. Kita patut bangga dengan sikap Amril saat wawancara on air di TV One tanggal 15 Juni  kemarin. Dia adalah satu dari anak-anak yang kembali dikorbankan oleh kebijakan UN. Tiga tahun belajar dan meraih prestasi tinggi di berbagai bidang sirna akibat nilai UN Kimia dibawah standar. Amril tak pantang menyerah, dia tetap berjuang untuk melanjutkan ke PT yang diidam-idamkan. Tekad kuatnya untuk menjadi Presiden dan memperbaiki sistem pendidikan nasional perlu kita dukung. Kontras sekali dengan paparan anggota BSNP yang bersikukuh menjalankan standar nasional pendidikan secara bertahap tanpa memedulikan anak-anak yang terus menerus dikorbankan. Diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan KPAI terhadap pelaksanaan UN/UASBN yang menegaskan bahwa UN dan UASBN sejatinya melanggar Hak Anak. 
            
Gugatan Citizen Law Suit terhadap pemerintah dalam hal ini tergugat Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua BPSNP telah dilakukan sejak tahun 2006. Walaupun dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dikuatkan dengan Pengadilan Tinggi Jakarta telah memenangkan penggugat (warga negara), tetapi tahun pemerintah tetap saja melaksanakan Ujian Nasional yang bebal dengan mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung. Proses kasasi gugatan warga negara yang diwakili korban UN 2006 baru berjalan. Anak-anak tidak boleh dikorbankan atas nama kebijakan pencapaian standar nasional pendidikan secara bertahap. Hasil advokasi korban UN 2006 baru sampai pada eligibilitas ijazah paket A, B, dan C. Meskipun pahit rasanya, karena saat ini baru sampai disini kita perjuangkan hak anak untuk mengembangkan diri melalui pendidikan yang lebih tinggi, kami menggali berbagai sumber penguat. Peserta ujian yang tidak lulus bisa mengikuti ujian kesetaraan paket C yang diselenggarakan pada tanggal 24-27 Juni mendatang. Hari ini masih banyak anak-anak korban UN yang dipaksa pindah jalur ke Paket A, B dan C agar dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk itu kami menuntut kepada pemerintah harus mencabut pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut masalah UN/UASBN. Kembalikan Hak Evaluasi kepada pendidik.
Untuk menanggulangi permasalahan di kalangan siswa, KPKB dalam hal ini KerliP dan PII akan melakukan beberap upaya sbb; Membuka layanan pengaduan sms ke Nur Afiatin 085221603650 atau Ferri 08562259490 atas nama KeLiP dan PII; Kami membuka proses dampingan untuk korban UN; Kami akan melakukan sosialisasi edaran Permendiknas Nomor  107/MPN/MS/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang program kesetaraan ke semua Universitas mulai besok. 
Oleh karena itu, kami menghimbau kepada Korban dan masyarakat untuk memanfaatkan akses yang diberikan KPKB dan PII, dan menghimbau ke Universitas untuk menerima lulusan yang menggunakan ijazah Paket C.
Bandung, 17 Juni 2008 

3. Rapat Koordinasi dengan relawan, PII, ketemu anak yang tidak lulus (Sedang Dibuat jurnalnya)

4. Pendampingan ke UIN (Belum ada/Teh Nur Yang Buat karena beliau yang mendampingi))

5. On-air di RRI (Sedang dibuat)

6. Penyebaran surat (Ke 8 Perguruan Tinggi)

Mengapa UN jadi pintu masuk?

Keluarga Indonesia,

Lebih dari 3 jam, saya bersama teman2 FGII bertandang ke rumah Budiman di Percetakan Negara. Rupanya anggapan bahwa guru adalah perpanjangan tangan rezim begitu melekat di benak antivis sehingga agak sulit memahami ada kelompok guru independen seperti FGII sebagai morganisasi penggiat demokrasi di Indonesia. Lebih rumit lagi memahami mengapa UN menjadi pintu masuk untuk gerakan demokratisasi pendidikan. Kegelisahan tentang beban belajar di SD dan hasrat untuk memperbaiki kurikulum mulai di tingkat SD menjadi wacana yang menarik.
Beberapa agenda bersama pun diusung untuk memperkuat partisipasi guru dan organisasi guru dalam demokrasi di Indonesia. Secara internal FGII membahas agenda tersebut dengan komitmen untuk konsolidasi organisasi.

Setiba di rumah, masuk sms dari Ketua Umum DPP FGII bahwa sejak 1960 Serikat Guru Jepang menjagi motor gerakan mengkritisi kebijakan UN di Jepang. Gerakan ini diususng bersama masyarakat akar rumput. Hasilnya 1969 UN dihapuskan dari Sistem Pendidikan di Jepang. Kita bisa saksikan pesatnya kemajuan pendidikan yang berdampak langsung pada kemajuan pembangunan di Jepang.

Hari ini, Divisi Pendidikan di Kedubes Finlandia menerima Education Forum. Seperti yang sering terdengar, sistem pendidikan di Finlandia menghasilkan anak-anak terbaik. Di sana anak-anak tidak dibebani UN. Ada sistem evaluasi lain yang sudah dikembangkan sejak 1970. Pertanyaannya adalah, bagaimana sistem evaluasi yang memerdekakan anak bisa dilaksanakan di Indonesia?

Education Forum terus fokus melaksanakan advokasi terhadap kebijakan UN untuk mendorong gerakan perbaikan pendidikan

Kamis, 19 Juni 2008

eligibilitas program kesetaraan

Keluarga Indonesia

Apakah harus menunggu korban terus berjatuhan pada usia anak untuk memperbaiki pendidikan?
Kabar yang diterima dari Pak Iwan tentang Agung, siswa SMAN 18 berprestasi dan dapat beasiswa ditolak mendaftar ke Akmil karena tidak lulus UN 2008 dan beberapa anak di SMAN 24 yang khawatir dengan keabsahan ijazah paket C menghantarkanku untuk meminta Depdiknas menerbitkan surat edaran tentang eligibilitas program kesetaraan. Senin lalu begitu fotokopi surat edaran mendiknas tentang eligibilitas Paket A, B, C langsung kusebar melalui email dan surat edaran. Relawan KerLiP di bandung pun mendapat bekal penguat pada saat pers conference Selasa lalu.
Lalu muncul pengaduan dari siswa SMAN 17 Bandung yang diterima di UIN Bandung melalui PMDK dan tidak dapat mendaftar karena tidak lulus UN. Yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa surat edaran tersebut belum disosialisasikan ke PTN/PTS. Bahkan panitia lokal SNMPTN Bandung menolak pendaftar yang menggunakan ijazah Paket C 2008.

Baru saja bersyukur dengan respon dari Dirjen PNFI dan Dirjen Dikti ketika dikonfirmasi masalah ini, Elin mengirim sms tentang berita anak yang bunuh diri di NTT karena tidak lulus UN. Sungguh, penderitaan ini makin tak berujung.

Aku merasakannya sendiri. Sejak kemarin hatiku rusuh karena persiapan putri sulungku untuk mengikuti UNPK. Dia sebenarnya menekuni bahasa melalui homeschooling. Tapi tak ada pilihan lain jika ingin masuk Universitas di Negeri ini harus lulus UN/UNPK. Pendampingan terhadap korban UN 2006 ternyata tidak membuatku sanggup menahan diri ketika masalah ini harus kuhadapi. Bersyukurlah ada teman-teman yang selalu siap mendengarkan dan membantu mencari jalan keluar.

Bagaimana dengan anak-anak yang tak punya keluarga, sahabat dan teman yang mendukung sepenuh hati?

lembaga evaluasi mandiri

LEMBAGA EVALUASI MANDIRI

HENTIKAN AROGANSI BSNP

Adalah hak peserta didik untuk pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara seperti yang diatur dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (1) butir e. Salah satu definisi hak dalam Kamus besar Bahasa Indonesia adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb). Sedangkan pengertian jalur pendidikan menurut UU Sisdiknas pasal 1 ayat 7 adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada kenyataannya anak-anak yang menjadi korban Ujian Nasional terpaksa pindah jalur karena tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu yang lain. Kekuasaan ada di tangan BSNP yang dengan mudah membuat pernyataan kemudian menariknya kembali atas penafsiran masing-masing terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernyataan Ketua BSNP Djemari Mardapi di Kompas tanggal 11 Juni 2008 bahwa dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2008 Pasal 3 antara lain disebutkan, UNPK dapat diikuti peserta didik yang pindah jalur dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal kesetaraan. Sehari sebelumnya, Kordinator UNPK BNSP M. Yunan Yusuf menyatakan bahwa kebijakan pelarangan UNPK untuk siswa SMK merupakan ketentuan yang diatur dalam PP nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hitungan jam keluar dua pernyataan yang berbeda yang mengusik rasa keadilan warga negara khususnya anak-anak SMK. Arogansi kekuasaan ini telah mengabaikan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. BSNP memberikan keteladanan salah dalam menggunakan kekuasaan yang diatur dalam PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pemenuhan hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan perlindungan hak-hak anak makin terabaikan.

BSNP menutup mata dari trauma yang dialami anak-anak yang terpaksa mengikuti Paket C seperti yang diutarakan Kristiono tentang anaknya yang terpaksa berganti ijazah PKBM padahal tidak pernah menjalani proses pendidikan pada jalur pendidikan tersebut untuk mengembangkan potensi diri (Kompas, 10/6/2006). Pasal 61 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Wewenang satuan pendidikan terakreditasi dalam menetapkan kelulusan diatur dalam PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 72 ayat (2) Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Fakta yang disodorkan oleh pihak pemerintah saat menghadirkan manajemen sekolah yang berani menetapkan anak tidak lulus dari sekolah tersebut meskipun dinyatakan lulus Ujian Nasional tahun 2006 lalu dalam persidangan gugatan warga negara yang mewakili korban UN 2006 di PN Jakarta Pusat membuktikan bahwa sekolah memiliki kewenangan penuh dalam mengeluarkan ijazah dan menetapkan kelulusan peserta didik. Sungguh bijaksana jika satuan pendidikan terakreditasi seperti SMK kembali menjalankan wewenangnya dalam menetapkan kelulusan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan seluruh aspek perkembangan minat, bakat dan kemampuan peserta didik.

Lembaga Evaluasi mandiri

Evaluasi pendidikan bukan kewenangan BSNP semata. Pembentukan Lembaga Evaluasi Mandiri ini diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UU Sisdiknas: Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan memperjelas kedudukan lembaga evaluasi mandiri dalam Pasal 84 (1)Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat (2)Evaluasi sebagai dimaksud pada ayat (1) secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik (3)Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menentukan pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program, dan/atau satuan pendidikan (4)Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara mandiri, independen, obyektif, dan profesional. Pasal 85 (1) Untuk mengukur dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program dan/atau satuan pendidikan, masyarakat dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri; (2)Kelompok masyarakat yang dapat membentuk lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi untuk melakukan evaluasi secara profesional, independen dan mandiri serta penjelasan pasal 85 Ayat (2) Contoh dari kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi tersebut adalah organisasi profesi berbadan hukum yang diakui oleh Pemerintah.

Menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 13 Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Selain mengembangkan profesionalitas guru, organisasi profesi guru mempunyai kewenangan untuk memajukan pendidikan nasional seperti yang disebutkan pada pasal 42. Lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi guru bukan hanya dapat menghentikan arogansi BSNP tapi juga menjalankan evaluasi bukan untuk mengambil alih wewenang satuan pendidikan terakreditas dalam menetapkan kelulusan tapi menjalankan evaluasi sebagaimana yang diatur dalam UU Sisidiknas Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Guru bersatu demi kepentingan terbaik anak takkan bisa dikalahkan. Hidup Guru!


Rabu, 18 Juni 2008

demi kepentingan terbaik anak kok!

acara baru saja mulai ketika aku dan putri kecilku sampai di PKBM Merah Putih milik keluarga Ibu Yuni. Ibu Masnah Sari, ketua KPAI duduk di belakang anak-anak mencermati kisah Ibu Yuni dengan GERAI MERAH PUTIH nya. Nyaris tak ada lagi yang kukenal di pendopo beraroma budaya Jawa ini. Tiba saatnya Kasie PLS Dikmenti Jakarta Selatan menyampaikan sambutannya. Ada beberapa anak yang akan ikut dalam UNPK 2008. Ah, anak-anak...mereka tak tahu kebijakan UN dan UNPK telah merenggut korban teman-teman sebaya mereka.

Anak-anak adalah pemilik republik ini. Namun mereka lebih sering dijadikan tumbal. Setiap sen yang masuk dari jajanan sehari-harinya menghidupi para gegeden tersebut belum menempatkan kepentingan terbaik anak-anak ini sebagai prinsip pengelolaan politik dan kekuasaan. Bahkan ketidaktahuan anak-anak yang antusias menyambut pelaksanaan UNPK (dan UN) telah dijadikan dalih untuk melanggengkan arogansi politik dan kekuasaan. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mengingatkan para pemangku kepentingan untuk mengelola negeri ini demi kepentingan terbaik anak-anak juga.

Saat ini nasib anak-anak korban UN sedang menunggu hasil kasasi. KPAI sedang menyiapkan dialog partai politik untuk membangun sistem pendidikan nasional ramah anak. Adakah cara lain yang lebih efektif? Ditunggu

Senin, 16 Juni 2008

ANAK-ANAK KEMBALI DIKORBANKAN

Kita patut bangga dengan sikap Amril saat wawancara on air di TV one tadi pagi. Dia adalah satu dari anak-anak yang kembali dikorbankan oleh kebijakan UN. Tiga tahun belajar dan meraih prestasi tinggi di berbagai bidang sirna akibat nilai UN Kimia dibawah standar. Amril tak pantang menyerah, dia tetap berjuang untuk melanjutkan ke PT yang diidam-idamkan. Tekad kuatnya untuk menjadi Presiden dan memperbaiki sistem pendidikan nasional perlu kita dukung. Kontras sekali dengan paparan anggota BSNP yang bersikukuh menjalankan standar nasional pendidikan secara bertahap tanpa memedulikan anak-anak yang terus menerus dikorbankan.

Mengorbankan hak anak untuk alasan apapun apalagi sekedar untuk pencapaian standar nasional pendidikan tidak dibenarkan. Lima tahun setelah UU Perlindungan Hak Anak disahkan, ternyata belum tersosialisasikan dengan baik bahkan di kalangan pemangku kebijakan. Mari konsisten menjalankan amanat konstitusi demi kepentingan terbaik bangsa Indonesia.
Jangan pilih lagi pemimpin, presiden, wakil presiden, partai politik yang mengorbankan hak anak untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaaan.

Ujian Nasional korbankan hak anak

Kamis, 12 Juni 2008

perjalanan masih panjang

keluarga Indonesia,

Tak pernah terlintas sedikitpun bila kini aku mulai terbiasa bolak-balik ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Sejak gugatan citizen law suit disidangkan, meja hijau itu jadi akrab dengan keseharianku. Senin lalu, bersama Pak Kristiono ayah Indah yang tak pernah absen hadir menemani Tim Advokasi Korban UN meski lingkar matanya divonis kena pendarahan dan katarak, Ibu Tri yang tertatih-tatih menuntun motornya karena tak kuat lagi naik bis, Gatot pengacara korban yang tanpa lelah menyiapkan pembelaan lengkap dan cerdas bagi kami, keluarga yang tidak hanya peduli pendidikan tapi juga berjuang agar hak anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dilindungi.

Minggu ini adalah penantian panjang untuk menunggu keputusan Hakim Mahkamah Agung terhadap kasasi yang diajukan para pengayom negara ini : Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan BSNP. Sungguh tak ada alasan lain kami berjuang tanpa henti dengan cara yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak anak tumbuh kembang sesuai minat, bakat dan tingkat kemampuannya. Mudah-mudahan majelis hakim di Mahkamah Agung membuka nurani untuk mendengar lirihnya suara korban UN untuk memperbaiki kualitas pendidikna di negeri ini. Semoga!