Kamis, 14 Juli 2011

Sekolah Rumah KERLIP Menggali Bakat Serta Melatih Kemandirian Anak

http://www.tnol.co.id/id/poverty-eradication/1324-sekolah-rumah-kerlip-menggali-bakat-serta-melatih-kemandirian-anak-.html

Salah satu program yang ditawarkan adalah kegiatan sekolah rumah. Melalui sekolah-rumah Kerlip ( Kelompok Keluarga Peduli Pendidikan) yang digagas oleh Yanti Sriyulianti ditawarkan konsep pendidikan yang segar dengan model tersendiri.

Doc. Rumah KerlipDoc. Rumah KerlipDi sini bakat dan potensi anak digali semaksimal mungkin sehingga membuat mereka kreatif. Contoh, anak tidak disediakan penghapus, tetapi langsung disediakan pulpen atau spidol. Tujuannya agar anak bisa langsung mencoret tanpa kekhawatiran takut salah.

Di sini, model pendidikan juga tidak bertumpu pada buku pelajaran, melainkan pada buku referensi. Guru pun didorong untuk mengembangkan bahan pengajaran tersendiri yang kontekstual dengan apa yang menjadi kebutuhan sang anak.

"Kelebihan sekolah rumah ini dibanding sekolah formal, keleluasaan untuk mengembangkan minat, bakat dan kemampuan anak dalam balutan cinta kasih keluarga. Selain itu juga untuk membudayakan kegiatan belajar dalam keluarga," tutur perempuan lulusan Farmasi ITB ini yang juga berprofesi sebagai guru.

Doc. Rumah KerlipDoc. Rumah KerlipProses kegiatan pengajaran antara lain 'Forum OK' (Obrolan Keluarga Peduli Pendidikan) di wilayah Rumah KERLIP secara reguler setiap bulan. Kegiatan ini seluruh portofolio anak bersama keluarga dan komunitas ditunjukkan dan dievaluasi bersama

Selanjutnya, pendampingan RELAKSASI (Perencanaan, Pelaksanaan, Sampaikan dan diskusikan) oleh orangtua dalam DREAM (Daftar Rencana Anak mandiri) yang dimulai dengan Berita Acara per kegiatan (jalan-jalan, membaca, menonton, lainnya). Kemudian dikembangkan menjadi Lembar Inspirasi Bagi Ragam Anak (LIBRA) oleh fasilitator serta Cara Asyik Cari Tahu (CACT) untuk setiap topik yang diminati anak.

Doc. Rumah KerlipDoc. Rumah KerlipTerakhir adalah Individual Education Program (IEP) yang dijadikan Laporan Perkembangan kemajuan belajar mandiri berbasis keluarga dan komunitas.

Adakah kendala? "Yang menjadi kendala adalah keluarga. Jadi pilihan sesungguhnya ada di tangan orangtua, atau bisa diibaratkan sebuah bandul. Orangtualah yang menjaga keseimbangan pergerakan bandul seiring tumbuh kembang anak. Jadi, jangan sampai si anak terus-menerus bergerak ke satu arah saja," ungkap Yanti.


Agar sekolah-rumah tidak diselenggarakan secara tunggal, maka Yanti bersama teman-temannya membentuk komunitas sekolah-rumah Kerlip. Dari komunitas inilah homeschooler (penyelenggara sekolah-rumah) bisa mensosialisasikan kurikulumnya dalam bentuk buku ke komunitas, sebagian sosialisasi lewat media on-line. Bukan hanya itu, Kerlip juga memiliki panduan pembelajaran dan monitoring terprogram. Panduan dan program ini kemudian dikembangkan dengan menekankan potensi lokal di masing-masing keluarga dan daerah. “Ini tiap 3 bulan sekali, tutornya bersama kami di labschool itu menggali ilmu pengetahuan terkini, untuk dikembangkan, kemudian kejeniusan lokal apa yang bias dipotensikan,” tukasnya.

Komunitas Sekolah-rumah : Sebuah Model Pemenuhan Hak atas Pendidikan

SUmber : Kompas, 2007
Memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri
bagi penyelenggara homeschooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi
dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan
untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk
menentukan kelulusan.

Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya,
apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?

Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian
juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan
untuk semua (education for all). Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas bahwa
pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan telah menekankan pentingnya
komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berbasis HAM yang
diimplementasikan untuk semua pada lingkup negara.

Menurut Katarina Tomasevski dalam buku Pendidikan Berbasis Hak Asasi, agar
pendidikan dapat disediakan (available) pemerintah perlu menjamin pendidikan
tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut
menghargai kebebasan para orangtua untuk memilihkan anak-anaknya dalam
memperoleh pendidikan berkualitas.

Agar pendidikan dapat dijangkau (accessible), penghapusan diskriminasi sebagai
mandat dari undang-undang HAM internasional perlu menjadi prioritas kebijakan
pendidikan. Agar pendidikan dapat diterima (acceptable), hak-hak manusia
seyogianya diterapkan dalam proses pembelajaran. Agar pendidikan dapat
disesuaikan (adaptable), pendidikan perlu menyesuaikan minat utama setiap
individu anak.

Di tengah keengganan pemerintah untuk mendengar amanat hati nurani warga negara
terkait dengan korban UN 2006 dan memenuhi amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas
mengenai anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, ada secercah harapan dengan
adanya pengakuan Direktorat Kesetaraan Ditjen PLS Depdiknas terhadap komunitas
sekolah-rumah.

Pendidik terbaik

Apakah saya dapat menjadi pendidik? Hampir semua orangtua akan bertanya seperti
ini ketika memutuskan untuk memilih sekolah-rumah sebagai model pendidikan bagi
anak-anak. Apakah mungkin bagi orangtua untuk beralih fungsi menjadi guru bagi
anak? Bukankah perlu waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kualifikasi guru?

Jawabannya adalah “ya”. Namun, belajar di sekolah sangat berbeda daripada
belajar di sekolah-rumah. Pengelompokan anak-anak sebaya dengan minat dan
kemampuan yang berbeda selama 6-7 jam sehari dalam satu ruang kelas pasti
memerlukan profesional yang sejahtera.

Bagi anak, mengembangkan potensi secara aktif berarti melestarikan pengetahuan,
penguasaan, dan kebajikan dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam
bimbingan pendidik terbaik. Homeschooling atau sekolah-rumah tidak menuntut
orangtua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas. Cukup dengan mendorong
anak untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan
kehangatan keluarga. Keberhasilan sekolah-rumah sebenarnya sudah dimulai ketika
orangtua menyadari bahwa tiap anak adalah sebaik-baiknya ciptaan Tuhan.

Pengalaman belajar kami sebagai orangtua diperoleh ketika Zakky (11), anak kami,
disiapkan untuk sekolah-rumah sejak Oktober 2005 dan berhenti dari sebuah
sekolah alternatif di Jakarta. Sebelumnya, Zakky mendapatkan model pendidikan
anak merdeka dari kelas I sampai IV di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tujuh bulan
lamanya masa transisi dari sekolah ke sekolah-rumah kami lalui dengan membaca
sejarah penemu dan ciptaannya serta melatih cara berpikir kritis, peduli, dan
kreatif untuk menjalankan kembali pendidikan anak merdeka.

Sejarah merupakan gerbang yang membuka cara berpikir dan imajinasi jauh melebihi
dataran, waktu, dan peradaban manusia. Cerita atau dongeng sejarah membantu
anak-anak memahami bagaimana orang- orang pada waktu dan tempat yang berbeda,
bagaimana perbedaan karakteristik masyarakat dan peradaban manusia berubah dan
bagaimana mereka bisa bersama-sama menghasilkan karya- karya terbaik yang tak
lekang oleh zaman. Cerita-cerita terpilih seperti kisah para nabi, biografi
penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sejarah bangsa-bangsa
mendorong motivasi berprestasi, cara menyikapi kegagalan dan kajian untuk
bertahan hidup.

Cerita Fitry (15) tentang mitologi dari negara Skandinavia mengenai penciptaan
dunia manusia yang diperolehnya saat menelusuri referensi tentang gerhana
matahari, atau antusiasme Zakky menggali referensi tentang sejarah penciptaan
alam semesta setelah keluar dari planetarium, menyadarkan saya akan waktu-waktu
berharga untuk tumbuh bersama anak-anak yang sudah lama hilang. Anak- anak pada
dasarnya telah jadi pendidik terbaik.

Awalnya, kami memfasilitasi pembelajaran Zakky dalam bentuk menyediakan guru
dari SD Hikmah Teladan dan mengajak keluarga penggiat sekolah-rumah lainnya
untuk bergabung. Setelah mencari informasi dari beragam sumber, kami memutuskan
untuk membuka komunitas sekolah-rumah dengan menguatkan partisipasi anak dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.

Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya
serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima, serta
rasa persahabatan di antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau
golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian.

Dalam konteks ini, komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan
yang diakui pemerintah ditantang untuk bisa menjamin perlindungan anak agar
tidak menyalahi prinsip penyelenggaraan yang diamanatkan UU Sisdiknas maupun
praktik indoktrinasi yang mengarah pada fanatisme.

Modal belajar

Penyelenggara sekolah-rumah tidak perlu berlelah-lelah dengan batasan kurikulum
dalam sebuah kelas yang disibukkan oleh 24 anak, bahkan lebih. Ketika hambatan
terhadap penghargaan ditiadakan, minat dan kemampuan anak terus digali serta
tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, maka budaya belajar jadi niscaya.

Masalahnya, belum banyak orangtua yang yakin dapat mempraktikkan hal ini.
Seminar, lokakarya, dan pelatihan parenting mungkin dapat membantu. Tapi, ini
belum lengkap tanpa pendampingan program belajar keluarga.

Menghadirkan fasilitator yang berpengalaman dalam mengimplementasikan pendidikan
anak merdeka dalam Forum OK! (Obrolan Keluarga) ternyata dapat memperkuat
komunitas sekolah-rumah.

Setiap keluarga penyelenggara sekolah-rumah dapat berbagi pengalaman belajar
sambil mendiskusikan perkembangan anak- anak dalam suasana yang penuh
kekeluargaan. Bahkan, kini sudah ada asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan
alternatif yang diharapkan dapat menjadi badan amanah bagi komunitas
sekolah-rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia.

Seluruhnya menjadi modal belajar yang sangat berarti bagi komunitas
sekolah-rumah. Apalagi jika komitmen pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menyediakan anggaran yang memadai bagi pemenuhan hak atas pendidikan berkualitas
dan bebas biaya tidak hanya bagi anak-anak sekolah, tetapi juga bagi pelaksana
sekolah-rumah dan pendidikan alternatif segera direalisasikan.

Sumber : Yanti Sriyulianti, Praktisi Pendidikan dan Penggerak Sekolah-Rumah

Mendidik Anak Menjadi Pribadi Dewasa

Mendidik Anak Menjadi Pribadi Dewasa
Tanggal : 30 Jul 2007
Sumber : Kompas

Prakarsa Rakyat,

Yanti Sriyulianti

Ki Hajar Dewantara, 85 tahun yang lalu, mendirikan Perguruan Tamansiswa yang menjalankan "sistem among", yang mendasarkan pada kodrat hidup anak dan kemerdekaan. Ironisnya, asas-asas utama pendidikan yang diperjuangkan Bapak Pendidikan Nasional itu sudah lama terlupakan.

Hal itu terlupakan terutama dalam pendidikan formal, dan terutama lagi di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.

Dalam buku Menyemai Benih Teknologi Pendidikan yang disusun Yusufhadi Miarso, disebutkan bahwa pendidikan yang dikembangkan di Tamansiswa memiliki empat asas perjuangan. Keempat asas itu adalah: (1) adanya seorang untuk mengatur dirinya sendiri; (2) pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia merdeka batin, pikiran, dan tenaga; (3) pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat; dan (4) berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

Dalam konteks inilah, gerakan sekolah-rumah (homeschooling)—yang disinyalir oleh Daoed Joesoef sebagai reaksi personal terhadap pelaksanaan pendidikan formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh ketidakpastian (Kompas, 9 Juni 2007)—seyogianya bercermin pada perjuangan Ki Hajar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Idealnya, penyelenggara sekolah-rumah (baik tunggal, majemuk, maupun komunitas) berupaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mengembangkan potensi anak secara aktif sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya.

Memindahkan praktik-praktik kelas dan kerumitan sekolah ke dalam praktik sekolah-rumah merupakan pengingkaran terhadap kodrat hidup anak dan kemerdekaan serta melanggengkan pelanggaran terhadap tujuan pendidikan nasional.

Partisipasi anak

Pengakuan pemerintah terhadap komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan memperluas akses terhadap pendidikan bermutu untuk semua anak dan hanya dapat tersedia gratis jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayainya.

Fleksibilitas sekolah-rumah memungkinkan setiap anak menjalani proses alamiah untuk menjadi anak mandiri dan bertanggung jawab. Jika sosialisasi diarahkan untuk mendidik anak menjadi dewasa, kekhawatiran yang berlebihan tentang sosialisasi pelaku sekolah-rumah sangat tidak beralasan.

Menurut informasi dalam Wikipedia, sosialisasi adalah sebuah penanaman dan transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Artinya, sosialisasi yang baik di sekolah maupun sosialisasi informal dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan selalu mengarah pada pertumbuhan pribadi anak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.

Menyadarkan anak akan keberadaan dirinya dengan penekanan pada kepatuhan anak, komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal, serta berisi perintah dan labeling sering terjadi di sekolah. Tuntutan untuk mencapai standar kompetensi dalam setiap mata pelajaran dengan jadwal yang padat serta rendahnya pemahaman guru dan orangtua tentang perlindungan hak anak menjadi pemicu utama tak tercapainya tujuan tersebut. Sosialisasi formal di sekolah yang cenderung represif inilah yang harus dihindari oleh para pelaku sekolah-rumah.

Menjadi tua adalah proses alamiah dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan sadar. Seseorang dianggap dewasa saat menyadari peraturan, mampu bekerja sama, bahkan dengan orang yang belum dikenalnya.

Anak-anak tidak perlu sekolah untuk menjadi dewasa dalam konteks ini. Membuka ruang partisipasi anak dalam bersosialisasi dapat membangun kesadaran bahwa dalam dunia sosial manusia berisi berbagai bentuk manusia. Untuk itu dibutuhkan kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sampai akhirnya anak berani hidup sebagai manusia dewasa dalam masyarakat semesta.

Pemerintah belum dewasa

Harus diakui bahwa perluasan akses pendidikan melalui komunitas sekolah-rumah masih terbatas pada kalangan tertentu. Keberadaan komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan masih seumur jagung.

Wajar jika masih banyak anak usia wajib belajar pendidikan dasar (SD-SMP) dari sekolah-rumah yang tidak diterima di sekolah formal karena alasan yang dicari-cari pihak sekolah, misalnya, tidak tahu tentang komunitas sekolah-rumah.

Kendala lain adalah kecenderungan pemerintah menyosialisasikan ujian nasional (UN) pendidikan kesetaraan hanya untuk mengamankan kebijakan UN reguler di sekolah formal.

Korban kebijakan UN yang berjatuhan setiap tahun hanya dipandang pemerintah sebagai kasus anak-anak malas dan tidak mau bekerja keras. Semuanya terjadi beberapa saat menjelang Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli. Meskipun pemerintah selalu memperingatinya, bahkan menjadikan Hari Anak Nasional tahun 2004 sebagai pencanangan Pendidikan untuk Semua (Education for All), masih terus berjatuhan anak-anak korban kekerasan di sekolah.

Padahal perlindungan anak dari kekerasan di sekolah ditegaskan dalam UU Perlindungan Anak (Pasal 54). Bahwa, anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya.

Begitupun Pasal 3, yang menyebutkan bahwa perlindungan hak-hak anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Hal itu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Anak juga mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Begitu banyak peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat dan menghabiskan uang rakyat, tetapi tidak dianggap penting untuk dilaksanakan. Imbauan untuk duduk bersama memperbaiki pendidikan dari warga negara ditanggapi dengan permainan kata-kata khas anak.

Keputusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat terkait dengan anak-anak yang menjadi korban UN 2006, yang menegaskan bahwa pemerintah telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga negara pada usia anak, terutama hak atas pendidikan dan hak-hak anak, dijawab dengan arogansi kekuasaan.

Sosialisasi dijadikan sebagai alat pemaksaan, bukan proses menanam dan transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat.

Rupanya, pemerintah kita belum dewasa dalam mengurus anak. Apakah para pejabatnya perlu di-"sekolah-rumah"-kan?

Yanti Sriyulianti Penggiat Pendidikan Alternatif, Wakil Koordinator Education Forum

Panduan Pengembangan Kurikulum Homeschooling a la KerLiP

BAB I

PENDAHULUAN

A. LANDASAN HUKUM

1. UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

a. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

b. DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

c. BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

d. Bagian Keenam tentang Pendidikan Informal pasal 27, (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

e. Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan : Bagian Kedua Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pasal 6 (1) Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; d. kelompok mata pelajaran estetika; e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. (4) Setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran mempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik. (5) Semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah.

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanl RI Nomor 22, 23, 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi , Standar Kompetensi Lulusan dan Pelaksanaan Standar Isi.

BAB II

IDENTITAS, VISI, MISI DAN TUJUAN RUMAH KERLIP

A. Identitas

Nama : Homeschooling KerLiP

Alamat : Wisma Kodel Lt. 11 Jl. HR. Rasuna Said kav B4 Jakarta Selatan 12920

Telepon/Fax :(021) 5221457

email : rumahkerlip@gmail.com

situs : www.rumahkerlip.blogspot.com

B. Visi

”Gerakan keluarga peduli pendidikan yang mengembangkan model pendidikan anak merdeka berbasis keluarga demi kepentingan terbaik anak”

C. Misi

1. Mendorong terciptanya suasana belajar dan proses pembelajaran sesuai dengan prinsip hak anak dan penyelenggaraan pendidikan.

2. Mengembangkan model–model pendidikan anak merdeka berbasis keluarga.

3. Bersikap proaktif dalam mengidentifikasi perubahan kebutuhan dan harapan anak, pendidik, dan keluarga demi kepentingan terbaik anak.

4. Menemukenali dan mengembangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan sejak usia anak.

D. Tujuan

Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran berbasis keluarga agar anak dapat secara aktif memelihara dan memperluas jangkauan kemandiriannya dalam mengembangkan nilai-nilai luhur kemanusiaan sejalan dengan prinsip hak-hak anak dan penyelenggaran pendidikan.

BAB III

STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM

A. Dasar Pemikiran

“Kebahagiaan manusia ialah bergerak menuju yang lebih tinggi, mengembangkan bakat–bakatnya yang tertinggi, memperoleh pengetahuan tentang yang tertinggi, bila mungkin “bertemu dengan tuhan” EF Schumacher

Memelihara kemerdekaan anak, mengasah anak berjiwa mandiri menjadi tantangan tersulit seorang pendidik. Hampir seluruh anak Indonesia tumbuh dengan rutinitas tanpa daya kejut dengan menu wajib berupa tumpukan tugas bernama pekerjaan rumah dilengkapi ketentuan seragam, buku paket wajib, dan lulus Ujian Nasional.

Bagi anak, belajar sesungguhnya didorong oleh motif rasa ingin tahu. Peran penting pendidik adalah bagaimana menumbuhkan keingintahuan anak dan mengarahkannya dengan cara yang paling mereka harapkan, paling mereka minati. Jika anak diberi rasa aman, dihindarkan dari celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa, ia akan tumbuh dengan penuh rasa percaya diri dan berkembang menjadi dirinya sendiri.

B. Prioritas

Rentangan lingkungan yang diperkaya bagi manusia tidak terbatas.Bagi sebagian orang, berinteraksi dengan obyek sudah menyenangkan, bagi yang lain memperoleh informasi sangat memuaskan, dan bagi yang lainnya lagi bekerja dengan pikiran-pikiran kreatif sangat membahagiaan. Tetapi ada jenis pengayaan, tantangan yang dihadapi sel-sel otak itulah yang sangat penting....Salah satu cara yang memastikan kesinambungan pengayaan adalah mempertahankan rasa igin tahu sepanjang hidup kita. Selalu bertanya tentang diri Anda dan orang lain dan pada gilirannya mencari jawabannya akan memberikan tantangan terus-menerus pada sel-sel otak (Jalaludin Rakhmat dari http://notes.utk.edu/bio/greenberg.nsf/, 5 April 2005).

Sumber belajar di rumah, masyarakat, dan lingkungan sekitar tempat tinggal anak sangat melimpah. Prioritas pendidikan pada usia anak mulai dengan persiapan membaca, menulis, dan berhitung. Rasa takjub dengan begitu banyaknya sejarah, sains, dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat mereka pelajari saat anak–anak mulai membaca akan menuntun kemandirian anak untuk belajar.

Penting bagi pendidik untuk membangun minat baca yang menimbulkan antusiasme anak untuk menggali referensi, melakukan percobaan, bahkan melakukan investigasi.

C. Struktur Kurikulum.

1. Persiapan Membaca

Mulailah dengan 10 menit sampai 30 menit perhari bagi anak usia 5 tahun. Matikan TV, membacakan Seri Kupu-Kupu per hari cukup bagi Batita. Bicaralah kepada anak ketika jalan–jalan di taman dekat rumah, ketika naik metromini, ketika naik busway, ketika menyiapkan sarapan, ketika memandikan, ketika menyuapi, ketika menyusui, ketika bermain.

Katakan pada anak apa yang sedang kita lakukan saat hal itu dilakukan. ”Sekarang ayah akan membuat nasi goreng. Ayah ambil 3 siung bawang putih, ayah kupas dan dicuci sampai bersih kemudian diiris tipis. Nah....sekarang ayah ambil sepiring penuh nasi dan sesendok mentega. Ayah letakkan mentega didalam wajan dan menyimpan wajan diatas kompor. Saatnya tiba menyalakan kompor.

Wow! Apinya terlalu besar! Kita kecilkan sedikit ya. Ayah masukkan bawang putih tadi. Hmm....harum! Ayah masukkan telur dan diorak–arik sampai matang. Sekarang kecapnya siap ditambahkan. Mana nasinya ya? Wah...ayah lupa! Ayah matikan dulu kompornya ya. Ini dia nasinya! Ayah nyalakan lagi kompornya dan masukkan nasi ini kedalam wajan tadi. Nasi goreng kesukaan ayah siap disantap.” Ini salah satu contoh sederhana untuk membangun dasar–dasar kemampuan berbicara dalam otak anak kita. Anak–anak belajar menggunakan kata-kata untuk merencanakan, berpikir, menjelaskan secara rinci; bagaimana menggunakan kata–kata dalam kalimat lengkap.

Membacakan gambar, menunjuk huruf–huruf yang terpampang di dinding, di papan reklame, di kaca mobil, dan dimana saja setiap ada kesempatan. Membaca buku ular dengan gambar–gambar yang menarik ketika anak bermain di lantai. Membaca buku dengan kaset untuk anak–anak sambil memperhatikan bagaimana anak kita mendengarkannya berulang–ulang. Merekam saat kita membaca, menyanyi, mendongeng, membaca puisi dan kemudian menyetelnya saat anak–anak bermain–main sendiri atau bersama yang lain. Semua kegiatan tersebut jika dilakukan setiap hari akan membangun literasi anak sejak dini.

Menanyakan beberapa hal terkait dengan cerita yang dibacakan kepada anak–anak usia tiga tahun, menyanyikan alfabet saat mengganti popok anak, membacakan buku alfabet yang berima dan buku–buku alfabet lainnya merupakan awal yang baik.

Ketika anak mengetahui nama suatu huruf, katakan setiap huruf dengan bunyi tertentu, khusus untuk binatang kaitkan dengan suara khas, misal ’anjing menggonggong, guk!guk!guk! Ayam berkokok, kukuruyuk!’ Dan latih anak mengenal konsonan dengan cara ’c katakan c, c, c, seperti dalam cecak’.

Kemudian vokal seperti membimbing anak belajar konsonan. Ingat untuk selalu menghubungkan dengan kata–kata yang dekat dengan keseharian anak.

Tanpa buku kerja atau pengajaran secara manual bagi anak usia 4 sampai 5 tahun, sekitar 30 menit per hari, ditambah obrolan dan permainan dalam kehidupan keluarga kita akan sangat bermanfaat. Cobalah untuk tidak memikirkan kurikulum seperti yang dilaksanakan di sekolahsekolah formal karena ini akan menekan anak yang enggan untuk ’mengerjakan halaman itu saja’ padahal perhatiannya sudah beralih ke bagian lain yang lebih menarik.

Lebih bermanfaat lagi jika dilakukan saat mengobrol bersama anak, membantu anak mengikat tali sepatu, membantu anak mengancingkan baju, membersihkan dirinya sendiri. Kesempatan emas ini jangan sampai terlewatkan apalagi dialihkan ke pengasuh anak kita. ”Kita ada empat orang. Berapa sendok yang akan kauletakkan di meja, sehingga masing-masing dapat satu sendok?” ”Bisakah kau menyebutkan huruf awal dari tomat? Kau akan menemukan kalau huruf T adalah cara untuk mengatakan t, t, tomat.”

Jika anak sudah terbiasa membaca gambar sejak kecil, mendengar dongeng sebelum tidur dari orang dewasa dan tidak menderita kelainan apapun maka dia siap untuk membaca pada usia menjelang 5 tahun. Dan semua orang dewasa yang dapat menjadi pendidik yang baik baginya. Kita tinggal di dunia nyata, dimana tulisan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dan kesempatan. Membaca dan memenuhi pikiran anak dengan bunyi dari ribuan kata membuat membaca begitu mudah bagi anak–anak.

Jaga agar selalu membaca dengan anak dalam berbagai kesempatan. Mulailah untuk menanyakan dengan halus pertanyaan yang lebih rumit tentang cerita yang kita bacakan. Pada usia 4 tahun, rata-rata anak sudah tahu alfabet dan bunyi yang dibuat tiap huruf. Lanjutkan bekerja dalam nama huruf dan bunyi. Magnet kulkas berbentuk huruf adalah cara yang bagus untuk ini. Kita dapat mengambil huruf k dan berkata, ”K, k, k, kulkas.”. Kebanyakan anak menjelang usia 5 tahun sudah siap untuk mulai membaca. Duduk dengan buku awal yang mengajarkan bunyi yang terdengar saat mereka digabung dengan huruf lain menjadi kata. Perlahan namun konsisten baca ulang sampai anak merasa nyaman dengan bunyinya dan kombinasi huruf menjadi kata. Lakukan 5 menit saat memulainya dan lanjutkan menjadi 10-15 menit per sesi.

Pada kesempataan lain di hari yang sama, duduk dengan anak dan sebuah buku seperti seri Koguma, biarkan ia merangkai kata–kata untuk membaca gambar setiap halaman. Anak–anak akan sangat antusias dan bahkan mengulang–ulang tanpa lelah. Mendengarkan dengan antusiasme yang sama akan mendorong anak untuk meminta kita untuk membaca tulisan di setiap halaman. Kita tak perlu menguraikan atau menjelaskan apapun. Katakan saja kepada anak bahwa kita membaca kalimat yang ditulis dalam buku tersebut.

Membaca adalah cara mengajar terbaik untuk menghubungkan kata-kata dengan isi yang berarti. Kita tak menginginkan pembaca awal kita untuk mengingat secara keseluruhan sebagai kebiasaan, lebih daripada menyebut bunyi fonik per suku kata di setiap kata. Mulai dengan 5 menit latihan dan 5 menit membaca buku mudah per hari. Lanjutkan hingga 15 menit setiap pekerjaan per hari. Jangan tanya, ”Apakah ini saat yang tepat untuk membaca?” Rencanakan sebagai kebiasaan yang dibutuhkan, seperti menyikat gigi, atau membereskan kamar sendiri meskipun anak menjawab ’tidak’. Kita akan terkejut melihat kecepatan anak menyebutkan bunyi kata dengan keinginan mereka sendiri.

Keuntungan metode ini adalah kita tidak dibatasi bacaan apa yang ingin kita baca dengan anak kita; bila kita mengeluarkan bunyi kata yang berada di belakang kemampuan ”level latihan” anak, kita dapat membaca praktis apa saja yang ada di bagian ”bacaan mudah” atau ”bacaan awal” di perpustakaan. Dan sering kita akan melihat anak kita telah menyerap peraturannya saat kita masuk ke bagian utama. Bila kita mengatakannya cukup sering, pembaca kecil kita akan menemukan peraturan itu saat sampai di sana.

Bagaimana bila anak kita belum siap membaca? Kesiapan membaca dimulai saat anak ’membacakan’ sebuah buku bergambar kepada boneka-bonekanya; atau saat ia mengambil sebuah buku dan duduk di sofa, seakan-akan dia membacakannya untuk kita; atau saat ia terus menerus bertanya pada kita ”Ini dibacanya apa?” Seluruh aktivitas itu menunjukkan bahwa anak mengerti buku itu membawa sebuah pesan.

Anak-anak akan bangga terhadap dirinya sendiri saat berhasil membaca ”seluruh buku sendirian”. Saat mereka mulai menggabungkan kalimat-kalimat, mereka akan berkata pada kita kalau mereka tak mau latihan lagi; mereka mau membaca saja. Ini adalah pertanda yang bagus, tapi bertahanlah untuk tetap latihan membaca 10 menit per hari. Gunakanlah naluri kita. Bila kita mulai dengan kata tiga-huruf, melakukan latihan 10 menit per hari dengan sungguh-sungguh selama 3-4 minggu, dan sang anak belum menunjukkan pemahaman, berarti ia belum mengerti hubungan antara huruf tercetak dan bunyinya. Tinggalkan saja selama 1-2 bulan, dan mulai lagi nantinya.

2. Persiapan Menulis

Mulailah saat anak sudah bisa memegang pensil dengan baik. Gambarlah sebanyak mungkin bentuk–bentuk melingkar dan lengkungan berulang–ulang pada kertas kosong bekas. Menggunakan pensil biasa jauh lebih disukai dan mudah bagi jari–jari mungil anak kita dibanding pensil besar khusus untuk anak–anak prasekolahsekolah. Anak usia tiga tahun sangat menyukai menghubungkan titik–titik yang membentuk gambar atau tulisan tertentu dengan crayon miliknya.

Saat anak sudah merasa nyaman memegang pensil dan dapat memegang sedikit kontrol atasnya, pelajaran menulis formal bisa dimulai. Berikan kepada anak buku kerja menulis awal yang berisi garis dan pola yang besar-besar untuk membentuk huruf-huruf. Jangan lupa untuk selalu membimbing anak menulis huruf besar dan kecil bersamaan atau satu angka dalam satu waktu hingga kita sudah mencapai seluruh alfabet dan angka 1 sampai 100. Buku kerja untuk menulis menampilkan arah panah atau angka untuk menunjukkan bagaimana seharusnya huruf itu dibentuk: lingkaran untuk huruf a kecil selalu digambarkan berlawanan arah jarum jam; bagian lurus di huruf D besar selalu digambar pertama, baru bagian lengkungnya. Hal ini penting! Pastikan anak kita menggambar huruf dengan benar secukupnya, dan awasi dia selama bulan pertama untuk memastikan anak kita tak punya kebiasaan buruk. Setiap huruf ditulis dalam satu gerakan membuat perubahan ke huruf sambung menjadi lebih mudah. Mulai dengan buku level TK dan biarkan anak maju dengan sendirinya. Sediakan buku tambahan jika anak memerlukannya.

Bimbing anak untuk melakukan beberapa pekerjaan yang memanipulasi gerakan tangan sebelum sungguh-sungguh belajar menulis. Buku kerja yang memiliki banyak model huruf per barisnya tidak cocok bagi penulis cilik kita. Anak usia ini memiliki kebiasaan untuk meniru tullisan terakhir yang mereka buat, dibanding melihat

kembali contoh yang benar. Walau program ini menawarkan banyak wawasan yang mengagumkan, tapi ini bukanlah pilihan yang baik. Fokuskan pada kemudahan dibaca dibanding keindahan. Anak akan mersa tertantang untuk menulis dan ia akan memperoleh keuntungan besar dari perjuangannya ini.

Ketika seluruh alfabet sudah dikenalkan kepada anak, biarkan anak meniru huruf yang kita tuliskan untuknya—nama dirinya dan anggota keluarga adalah pilihan terbaik untuk memulai. Secara berkala, minta dia untuk menulis kalimat sederhana. Dengan cara ini, anak berusia 5 tahun tak hanya belajar menulis, tapi juga mulai belajar ketentuan bahasa: huruf kapital untuk nama dan awalan kalimat, jarak antar kata, tanda titik, tanya dan seru. Di sekolahsekolah dasar anak akan diminta menulis tanpa contoh di depannya. Tapi untuk sekarang, biarkan saja dia memilih contoh kita sesering yang dibutuhkan. 10 menit per hari, 3 sampai 5 kali per minggu sudah cukup. Dengan berkala secara tetap dapat memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan sesi yang diperpanjang.

3. Persiapan Berhitung

Berhitung bisa dikenalkan pada anak–anak usia tiga tahun saat kita membacakan cerita. Kita bisa membacakan angka yang menunjukkan halaman yang sedang dibaca sampai anak kita memahami bahwa kata –kata pada setiap halaman bermakna bagi dirinya. Dengan demikian dia akan mengerti bahwa simbol–simbol matematika mengandung makna tertentu. Menghitung jari tangan, kaki, mata, telinga, mainan, batu, sendok, piring, gelas, dan lain-lain. Menghitung mundur pada permainan petak umpet, menyebut kelipatan tiga, lima, empat, sepuluh sebelum bermain bersama anak. Atau membaca angka yang dilihat anak pada setiap kesempatan.

Saat anak sudah bisa menghitung, lanjutkan ke perhitungan ‘sehari-hari’ dengan menambah dan mengurangi dalam kehidupan sehari-hari. Mengatur meja adalah latihan berhitung yang hebat: mintalah anak untuk mengira-ngira berapa banyak piring, sendok, garpu, dan pisau yang dibutuhkan. Tambahkanlah atau kurangkanlah apa saja di kotak mainan anak. Saat kita mengolesi roti tawar dengan mentega dan memotong 1 atau 1 roti tawar yang sudah dilapisi selai kesukaan anak, katakanlah, “Lihat, aku membaginya menjadi setengah!” atau “Aku membaginya menjadi seperempat!”

Lakukan banyak manipulasi penambahan dan pengurangan (kacang, kancing, pensil, cokelat chip). Praktekkan menghitung hingga seratus—dengan kelipatan 2, 5, dan 10. Gunakan uang, sebutkan jam saat akan pergi dan ketika sampai di rumah bersama anak, dan menyebut bentuk-bentuk geometris—lingkaran, segitiga, persegi, persegi panjang.

Bila kita lakukan ini, anak akan lebih siap untuk pelajaran berhitung kelas 1. Seperti dalam hal membaca, anak yang lebih muda lebih menikmati program berhitung bersama dengan kakaknya. Program behitung di usia menjelang 5 tahun adalah permainan, bukan pelajaran akademis. Bila anak capek setelah 5 atau 10 menit, jangan paksa ia untuk menyelesaikannya.

4. Usia sekolahsekolah dasar

Kita perlu memastikan untuk menyediakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu level dan melanjutkan ke level berikutnya hanya jika anak sudah menguasai level pertama, meskipun hal itu terlaksana sebelum atau sesudah usia ”normal”. Bukan menyelesaikan buku pelajaran kelas 1 yang tersedia untuk anak–anak sekolahsekolah. Setiap subyek yang sesuai dengan perkembangan anak memerlukan waktu yang cukup agar kita dapat berkonsentrasi pada area yang lebih lemah. Pastikan anak benar–benar siap memasuki subyek setara dengan kelas 4 pada area manapun—ejaan, tata bahasa, membaca, dan menulis—setidaknya pada saat berusia 10–11 tahun.

Jangan segan untuk kembali memulai dengan buku sederhana seperti seri buku Koguma saat anak sudah memahami dasar–dasar membaca dan menulis. Sediakan waktu yang cukup bagi anak untuk menceritakan gambar dari setiap halaman dengan antusias kemudian menuliskannya. Kemudian minta anak untuk membaca kalimat dalam buku–buku sederhana tersebut. Beberapa anak masih memerlukan waktu lebih lama untuk bisa menuliskannya.

D. Pengembangan Silabus Kurikulum Pendidikan Anak Merdeka

Merujuk pada PP NO 19 TAHUN 2005 Pasal 20, Seko perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil relajar.

Lebih dari apapun, menjadikan pendidik sebagai pihak yang mumpuni, mandiri, dan kreatif dalam mengembangkan silabus lah yang akan menjadikan implementasi Pendidikan Anak Merdeka jadi model pendidikan yang benar-benar memerdekakan . Sebab itu sangat perlu diwaspadai berbagai upaya yang menyimpang dari otonomi pengembangan silabus pada sekolahkomunitas belajar sekolahsekolahrumah menjadi tak lebih sebagai pekerjaan teknis, rutinitas dengan kehilangan otensitas dan inovasiyang membuat pengelolaan pendidikan kembali sentralistik.

Terkait dengan hal tersebut, Komunitas Rumah KerLiP menyediakan program excellent parenting untuk membantu orang tua memahami tugas perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia, tujuan pendidikan nasional, prinsip-prinsip penyelenggaraannya, model pengembangan pendidikan sesuai dengan falsafah khas keluarga dan dokumentasi perkembangan relajar anak-anak secara mandiri.

Mungkin perlu mencermati penjelasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor UU 20 TAHUN 2003 tentang Sisdiknas, yang menyatakan:

“Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi :

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

3 .dst………….”

Artinya, selama undang-undang ini masih berlaku, kita tetap menganut ”competency based” dalam implementasi kurikulum. Salah satu ciri pokok ”competency based” adalah seperti yang diungkapkan oleh Engku Syafei (Pendiri INS Kayu Tanam, Sumatera Barat sekitar tahun 20-an. Ia menyatakan:

· ”Pendidikan ialah membangkitkan agar setiap siswa berkemauan keras untuk memilih sendiri arah jalan hidupnya”

· “Dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan, tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis”, bukankah keberagaman itu adalah kekayaan.

Sebelum memberikan perlakuan terhadap peserta didik, kita harus memahami karakter potensi yang mereka miliki dan itulah kompetensi yang ia miliki saat itu. Seringkali, kompetensi yang telah dimiliki tiba-tiba hilang setelah dididik. Hilangnya kompetensi tersebut akibat orientasi atau basis pendidikan berubah dari “berbasis kemampuan (kompetensi) kepada berbasis knowledge”. Kurikulum yang berbasis “knowledge” sangat rigit dengan urutan yang harus dipelajari oleh siswa, karena dia mengukur kemampuan siswa dari “APA YANG TELAH DIPELAJARI”, sementara kurikulum yang berbasis kompetensi mengukur kemampuan siswa dari “APA YANG TELAH DIKUASAI”. Pertanyaannya, apa perbedaan antara APA YANG HARUS DIPELAJARI dengan APA YANG TELAH DIKUASAI?. Dalam kurikulum berbasis “konwledge” semua yang tertulis dalam kurikulum merupakan “URUTAN YANG WAJIB DIPELAJARI OLEH SEMUA SISWA” tanpa mempedulikan apakah siswa sudah menguasainya atau belum. Akibatnya, semua peserta didik harus menerima dan mendapatkan pelajaran dengan materi, metode penilaian yang sama. INI MELANGGAR HAM dan sangat ditentang oleh Engku Syafei. Dalam kurikulum yang berbasis kompetensi, siswa tidak harus mempelajari semua yang tertulis dalam kurikulum, sebelum anak diberikan pelajaran harus didahului dengan “IDENTIFIKASI KEBUTUHAN’ sehingga mungkin saja dari 10 kompetensi yang tertulis dalam kurikulum, siswa A hanya perlu mempelajari 6 saja, siswa B cukup 5, sementara siswa C harus mempelajari semua.

Komponen Silabus dalam pengembangan Kutikulum Pendidikan Anak Merdeka mencakup:

• Identifikasi

• Standar Kompetensi

• Materi Pokok

• Pengalaman Belajar

• Indikator

• Penilaian

• Alokasi Waktu

• Sumber/Bahan/Alat

Ternyata dunia pendidikan pun menjadi salah satu bukti betapa pengaruh kekuasaan Orde Baru yang represif telah menjadi kultur sebagian besar masyarakat. Budaya asal bapak senang, bahkan ketika “bapak”adalah pergerakan aliran kepemimpinan, maka pendidikan betul-betul menjadi mesin birokrasi. Hal ini setidaknya nampak, bagaimana contoh silabus yang dibuat BSNP (yang hanya satu-satunya tapi dalam tiga format) menjadi model baku dan wajib. Sampai ke sekolahsekolah di pelosok pun, model itu tidak berubah. Perubahan adalah pelanggaran terhadap peraturan pemerintah, perlawanan terhadap kewenangan pengawas dinas pendidikan, atau yang paling menyedihkan, dunia pendidikan kita memang (bukan tidak mau berubah tapi) takut berubah.

Pada komponen silabus, komponen terpenting yang menjadi pertaruhan otonomi sekolahpendidik dalam mengembangkan silabus adalah pengalaman belajar, indikator, penilaian, alokasi waktu dan sumber/bahan/alat. Komponen silabus merujuk pada pengalaman belajar, indikator, penilaian, alokasi waktu dan sumber/bahan/alat. Beban administratif yang dipikul pendidik merampas cukup berarti waktu pendidik untuk belajar, memikirkan tumbuh kembang anak, mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk itu perlu dipikirkan cara yang tepat agar penyusunan silabus tidak membelenggu pendidik untuk memenuhi hak anak atas pendidikan.

Sebenarnya, fungsi INDIKATOR adalah sebagai ukuran ketercapaian kompetensi. maka posisi letak “INDIKATOR” dalam format silabus tidak perlu dipermasalahkan.

Satu hal yang harus ditegaskan dalam pengembangan Kurkulum pendidikan anak merdeka, kemandirian dan independensi setiap satuan pendidikan menjadi sumber daya utama. Mengingat betapa identiknya pengembangan silabus dengan kemandirian untuk menentukan pengalaman belajar, indikator, penilaian, alokasi waktu dan sumber/bahan/alat, panduan pengembangan dengan mempertimbangkan falsafah khas setiap keluarga, berarti adanya pencapaian prestasi dan masa depan yang otentik, unik, dan khas untuk setiap sekolahsekolahrumah bahkan untuk setiap anak; maka beberapa pelatihan dikembangkan oleh Rumah KerLiP untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman belajar dengan silabus yang khas bagi setiap komunitas atau satuan pendidikan lainnya.

Komponen terpenting yang dapat mengarahkan kita pada silabus yang orisinal adalah menegaskan bahwa indikator ini menggambarkan pencapaian kompetensi untuk penilaian.

Terkait dengan hal tersebut Litbang Perkumpulan KerLiP mengembangkan kurikulum lintas usia dengan mengintegrasikan visi SETS (Science, Environment, Technology and Society) yang berorientasi pada prinsip kepentingan terbaik anak. Mendidik anak dalam konteks pembangnan berkelanjutan diyakini dapat mendorong kemandirian anak dalam mengambil peran dan tanggung jawab kemanusiaan.

Modul SETS edisi I sedang disusun dan diujicobakan di Komunitas Rumah KerLiP kampung Jawa yang diikuti oleh 40 peserta didik berusia 6-23 tahun. Dalam tataran teknis, modul ini menggunakan Cara Asyik Cari tahu yang menuntun peserta didik untuk mensistematisasi cara berpikir lintas usia dan lintas disiplin ilmu.

Melalui langkah pembelajaran yang mengelola keunikan anak dan keragaman sumber belajar dalam kelompok lintas usia ini diharapkan terjadi dialog saling belajar. Pembiasaan untuk saling belajar ini diharapkan akan mendorong tumbuhnya masyarakat belajar yang memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk tumbuh menjadi diri sendiri.

E. Pengaturan Beban Belajar

Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri. Semua itu dimaksudkan untuk mendidik anak mandiri sesuai degan minat, bakat dan kemampuan peserta didik. Di Komunitas Rumah KerLiP, tema kegiatan tutorial disesuaikan dengan standar kompetensi lulusan pada setiap kelompok usia yang setara.

Tutorial lintas usia di Rumah KerLiP Kampung Jawa dilaksanakan pada hari Selasa dan kamis. 1-2 jam pertama seluruh peserta didik lintas usia mengikuti role play dan kegiatan bersama kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mandiri dalam kelompok usia sebagai berikut:

a. Kelompok 6-12 tahun berlangsung selama 35 menit;

b. Kelompok 12-15 tahun berlangsung selama 40 menit;

c. Kelompok 15 tahun keatas berlangsung selama 45 menit.

Proyek belajar setiap Rabu dan Sabtu dilaksanakan oleh peserta didik usia diatas 12 tahun. Pada kegiatan ini peserta didik difasilitasi untuk belajar membangun kerja sama untuk melatih kewirausahaan sosial sejak dini.

Modul SETS diharapkan menjadi bimbingan belajar mandiri yang dilaksanakan peserta didik diluar kegiatan tutorial. Kegiatan mandiri ini disesuaikan dengan tugas perkembangan kelompok secara individual maupun kelompok dalam dampingan keluarga.

Jumlah Jam kegiatan belajar yang disarabkan per minggu :

1) Kelompok usia 6-10 tahun sebanyak 29 s.d. 32 jam

2) Kelompok usia 10-15 tahun sebanyak 34 jam

3) Kelompok usia 15-keatas sebanyak 38-42 jam

Penugasan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi lulusan tertentu. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur diajukan oleh pendidik untuk disepakati bersama peserta didik atau keluarga (bagi kelompok usia <12 style=""> Penugasan terstruktur ini dikemas dalam bentuk modul SETS yang disusun oleh Litbang KerLiP berdasarkan standar kompetensi lulusan setiap tingkat satuan pendidikan.

Peserta didik yang sudah mampu mengisi form deteksi dini kebutuhan bimbingan belajar, didorong untuk memilih menu belajar yang sesuai. Standar kompetensi lulusan yang masih perlu bimbingan menggunakan modul SETS ini sebagai panduan kegiatan belajar.

Kegiatan mandiri adalah kegiatan pembelajaran direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi oleh peserta didik secara mandiri untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang bersesuaian.. Waktu penyelesaiannya diatur dan diajukan oleh peserta didik untuk disepakati bersama pendidik dan atau litbang KerLiP.

Bagi peserta didik yang sudah tuntas untuk standar kompetensi lulusan tertentu, dapat memilih teknik penilaian yang diminati dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan masing-masing. Hasil penilaian anak bersama pendidik secara berkala dilaporkan dalam bentuk IEP (Individual Education Progress) yang diterbitkan Litbang KerLiP.

Penilaian tertulis akan diberikan secara berkala paling lambat 2 minggu sebelum pendaftaran pemetaan kelulusan secara nasional dilaksanakan. Teknik ini digunakan untuk memetakan tingkat ketuntasan belajar peserta didik yang ingin mengikuti pemetaan kelulusan tersebut.

Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur:

1. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik kelompok usia 6-10 tahun sedikitnya 40% dari jumlah jam pembelajaran yang disarankan per minggu.

2. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada kelompok usia 10-12 tahun sedikitnya 50% dari jumlah jam pembelajaran yang disarankan per minggu.

3. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada kelompok usia 15 tahun keatas sedikitnya 60% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.

Setiap keluarga dapat memilih sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada sistem kredit semester dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri tidak terstruktur.

F. KETUNTASAN BELAJAR

Arti kata “Tuntas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : (1) habis (setelah dicurahkan), tidak mengalir lagi ; (2) selesai secara menyeluruh, sempurna (sama sekali) ; (3) singkat dan tegas (jelas).

Dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan anak dan kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran yang tersedia. Pada hakekatnya terbagi dalam 4 hal yaitu esensial, kompleksitas, daya dukung, dan intake, maka pendidik menentukan Standar Ketuntasan Belajar Minimum (SKBM) dalam silabus yang disusun bersama seluruh anggota keluarga. SKBM dikembangkan sebagai suatu target pencapaian hasil belajar yang berdasarkan kepada kompetensi dasar dengan rentang nilai berkisar dari 0 sampai dengan 100.

Contoh menerjemahkan SKBM

Esensialitas: Untuk bisa membaca siswa harus: mengenal huruf, kata, dan kalimat. Ketiga kompetensi ini wajib bagi semua anak (esensial).

Kompleksitas: Dalam mengenal huruf (huruf kapital dan huruf biasa), kata (kata benda, kata sifat, kata kerja dst.......), Kalimat: kalimat berita, kalimat tanya, kutipan, anak kalimat, tanda baca ....) Artinya, harus ada batasan sejauh mana tingkat kompleksitas kompetensi ini harus dikuasai anak, dan tentunya disesuaikan dengan kemampuannya. Bagi anak yang memang memiliki kompetensi sebagai pengarang, mungkin semua dapat dikonsumsi dengan baik. Tapi bagi anak yang ”bukan pengarang” (bahasa hanya sebagai alat komunikasi), maka kompetensi yang harus dikuasai tidak harus sekomplek yang dibutuhkan untuk mengarang seperti pengarang, reporter, atau peneliti.

Daya dukung: daya dukung yang utama adalah kompetensi pendidik, bagi pendidik yang memang profesional, kompetensi yang tadinya dianggap ”KOMPLEKS” bisa dengan mudah dikuasai anak.

Intake: artinya kemampuan awal siswa, jika anak belum mengenal huruf jangan dipaksa untuk menyusun kata, meskipun merangkai kata adalah kompetensi yang esensial. Anak yang bersangkutan butuh waktu untuk kompeten dalam mengenal huruf sebelum ”menyusun kata”. Tetapi, bagi anak yang sudah mampu merangkai kalimat, juga jangan dipaksa belajar mengenal huruf (hal ini sering dilakukan oleh guru selama ini).

Tantangan tersulit bagi keluarga yang menyelenggarakan sekolahsekolahrumah adalah menemukenali falsafah pendidikan anak merdeka dan menjaga agar falsafah khas dapat diwujudkan dalam suasana belajar dan proses pembelajaran berdasarkan pengalaman yang tumbuh subur dan kreatif dalam menataulang pengalaman berikutnya seperti yang dirumuskan John Dewey (John Dewey, 2004). Dalam konteks inilah pendampingan pengembangan kurikulum dan sumber belajar dilaksanakan dalam excellent parenting yang dikemas dengan forum OK! (obrolan keluarga peduli pendidikan).

Pada tahap awal, setiap keluarga dibimbing untuk menyusun dan mengembangkan rencana pembelajaran harian sesuai dengan deteksi awal kebutuhan bimbingan belajar anak.

G. Model – Model Pembelajaran

1. Komunitas Rumah KerLiP Jakarta

Permainan kertas yang pernah disampaikan Utomo Dananjaya pada pelatihan guru kritis di Tangerang mengawali pembelajaran di Komunitas Rumah KerLiP bagi anak-anak putus sekolah di Jl. Swadaya I Rt 16 Jakarta Selatan. Permainan kertas ini ternyata menumbuhkan minat belajar mereka. Setiap anak mendapatkan sepotong kertas yang sama besar dan diminta untuk membagi kertas tersebut jadi enam bagian sama besar dengan pikiran masing-masing. Satu anak yang putus sekolah setelah lulus SMP dengan cerdas menyebutkan bahwa sulit menilai tanpa ada bukti saat ditanyakan berapa yang benar dan yang salah. Anak yang lain menyetujui dan meminta untuk membuktikannya dengan memtong kertas tersebut jadi enam bagian sama besar. Atas kesepakatan bersama maka kegiatan dilanjutkan. Setiap anak mulai asyik melipat dan memotong kertas jadi enam bagian sama besar. Kebanyakan bisa memotong jadi enam bagian.

Bagaimana jawaban anak-anak tersebut saat ditanyakan apakah semuanya melakukan hal yang benar? Dengan enteng ketiga anak yang memotong lebih dari enam bagian menyebutkan bahwa mereka salah. Dua anak menjawab karena potongan ketiganya lebih dari enam bagian tapi tetap sama besar. Jawaban ini disetujui oleh ketiga anak tersebut. Anak-anak yang memotong dengan benar tapi dalam bentuk yang berbeda difasilitasi untuk memastikan bahwa setiap potongan benar-benar sama besar. Beberapa anak masih terlihat bingung. Tapi ketika ditunjukkan kertas baru yang dipotong dua sama besar, anak yang putus sekolah di kelas 4 SD menyebutkan bahwa setiap potongan kertas adalah satu dari dua bagian kertas awal atau ½. Anak yang memotong jadi 20 potongan sama besar menyimpulkan bahwa setiap potongan kertas hasil karyanya adal satu dari dua puluh bagian kertas awal. Anak-anak gembira dan takjub menyadari bahwa mereka belajar tentang pecahan dan pembagian. Pada bagian akhir tatap muka selama 45 menit, anak-anak menyatakan puas karena telah belajar Bahasa Indonesia, Matematika, Keterampilan dan berpartisipasi langsung dalam menilai hasil belajar secara mandiri.

Gairah belajar anak-anak ini ternyata mendorong ibu-ibu mereka untuk bertanya lebih jauh tentang komunitas sekolahrumah dan bagaimana mereka bisa terlibat aktif didalamnya. Anak-anak berjanji akan kembali menunjukkan ragam permainan yang mereka kenal. Dua anak berjanji untuk menuliskan asyiknya membaca buku Dunia Tanpa Sekolah dan Homeschooling : Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku yang diterbitkan Kompas secara bergantian. Ibu-ibu mereka berjanji untuk memantau perkembangan anak-anak menuliskan permainan yang mengasyikkan dan asyiknya membaca kedua buku tersebut.

Jika mengacu pada Pasal 3 UU Sisdiknas bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, maka sesungguhnya sangat mudah meruntuhkan anggapan bahwa belajar hanya dapat dilakukan dalam sistem persekolahan.

Cara Asyik Cari Tahu

Mendorong anak untuk menemukan sendiri cara asyik cari tahu bisa menjadi salah satu pilihan kegiatan belajar yang menarik. Menggali permainan yang dikenal anak adalah awal yang baik. Anak yang sudah bisa menulis diminta untuk merangkai kata menjadi kalimat yang menjelaskan cara permainan tersebut. Setiap anak diberi kesempatan untuk menuturkan gagasan tertulisnya. Sedangkan anak-anak yang belum bisa menulis diminta untuk menggambarkan permainan tersebut kemudian menuturkan seperti teman-temannya. Anak-anak belajar untuk mengekspresikan diri secara leluasa.

Cara asyik cari tahu diperkuat saat anak-anak antusias mencermati penuturan anak lainnya dan memilih permainan yang paling mengasyikkan untuk dicoba dan dianalisa dengan berbagai cara pandang seperti pada permainan kertas. Orang tua yang hadir didorong untuk mengikuti permainan yang disepakati anak-anak. Kesempatan bermain anak bersama orang tua dan menilai aspek-aspek yang dipandang penting tanpa batasan usia memberi pengalaman baru. Disini anak belajar menjadi warga negara yang demokratis dan secara mandiri menetapkan keputusan. Anak-anak dan orang tua bisa bersama-sama menelusuri kapan permainan anak yang terpilih dikenal di tempat tinggal mereka. Tulisan, gambar, dan hasil penelusuran sejarah permainan dapat menjadi sumber inspirasi untuk membuat karya yang layak jual dalam bentuk buku, agenda, kalender permainan anak-anak.

Kegiatan tutorial seperti ini dilaksanakan rata-rata dua kali tatap muka setiap pekan dalam bimbingan guru profesional di Komunitas Rumah KerLiP Jakarta. Dalam program ini anak dibimbing dengan metode–metode belajar mandiri. Penyesuaian pada tiga bulan pertama memerlukan strategi pembelajaran yang terus dikembangkan berdasarkan pengalaman keseharian anak. Anak dilibatkan untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan minat dan kemampuannya. Sumber belajar disediakan sesuai dengan kebutuhan setelah anak-anak menunjukkan rasa ingin tahu untuk topik tertentu. Pendidik dapat menstimulasi minat belajar anak dengan mencoba permainan terpilih, menonton film-film pengetahuan berdurasi pendek dan menarik, membawa sumber-sumber belajar yang inspiratif.

Buku permainan anak-anak kampung Jawa menjadi target kegiatan tutorial pekan kedua di Rumah KerLiP Jakarta bulan pertama. Film arsitek-arsitek alam distel sambil menunggu anak-anak berdatangan. Setelah lengkap anak yang menonton dari awal diminta untuk menceritakan kembali. Kebenaran ceritanya dinilai bersama dengan menonton ulang. Satu anak mengetik permainan yang ditulisnya sendiri. Pendidik meminta anak yang baru bisa membaca mendiktekan tulisan temannya tersebut. Anak-anak lain menceritakan kembali film tersebut dalam buku tulis masing-masing. Anak yang lebih besar menuntaskan buku bacaan yang dipilih pada pertemuan sebelumnya. Kecepatan mengetik dihitung bersama. Kegiatan berhitung ini mendorong anak-anak untuk membuat 10 soal pengurangan setiap hari dan menjawabnya sendiri. Hasil pembelajaran akan dinilai bersama pada tutorial berikutnya.

Kegiatan tutorial ditutup dengan menganalisa pembelajaran apa saja yang sudah dilaksanakan hari ini, bagaimana suasana belajar hari ini dan kegiatan apa yang akan dilaksanakan pada tutorial berikutnya. Pendidik menyiapkan Lembar Inspirasi Belajar Mandiri bagi beragam Anak (LIBRA) untuk memandu anak belajar pada tutorial berikutnya. Hasil pembelajaran dapat diperlihatkan anak dalam berbagai teknik penilaian pada kegiatan tutorial.

1. SanDi KerLiP

Model pembelajaran bagi anak-anak SanDi KerLiP dipersiapkan dengan model e-learning. Pembelajaran diawali program excellent parenting dengan mengkaji buku-buku terpilih mulai dari Seven habits of Highly effective people, Contextual Teaching Learning, dan Mind Mapping bersama nara sumber terpilih. Anak-anak yang sudah bisa membaca membuat ringkasan buku tersebut setiap pekan, sedangkan ringkasan buku tersebut bagi anak-anak yang lebih kecil disusun oleh orang tua masing-masing. Bagi keluarga yang tinggal diluar kota, maka hasil ringkasan dikirim via email. Sedangkan keluarga yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya bisa menghadiri excellent parenting di MP Book Point Jl. Puri Mutiara No 72 Jeruk Purut Jakarta Selatan.

Deteksi awal kebutuhan belajar anak disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan yang bersesuaian. Kebutuhan bimbingan belajar dikategorikan sebagai berikut :

· P (Perlu) : jika anak dan orang tua tidak dapat menyusun, melaksanakan, mengembangkan, dan menilai secara mandiri.

· M (mandiri) : Anak dan orang tua dapat menyusun, melaksanakan, mengembangkan, dan menilai secara mandiri.

· T (tuntas) : Anak dan orang tua sudah menuntaskan kompetensi lulusan tersebut dan siap menunjukkan hasilnya sesuai dengan teknik penilaian yang terpilih.

Cara Asyik Cari Tahu

SanDi KerLiP menyediakan format Cara Asyik Cari Tahu dan melatih anak-anak untuk mengisi format tersebut. CACT ini merupakan langkah awal untuk para peneliti muda. Manajemen SanDi KerLiP mengirimkan usulan topik CACT. Anak-anak dapat memilih untuk menetapkan topik mandiri maupun mengikuti usulan tersebut. Setiap anak membuat kesepakatan perencanaan CACT bersama Litbang. Perkembangan hasil belajar dipantau melalui e mail. Disini diperlukan sikap proaktif orangtua untuk mendorong anak secara rutin mengirimkan hasil belajar melalui e mail setiap Jum’at dan Selasa.

Dharapkan kegiatan tersebut dapat mengkonstruksikan cara berpikir anak dan membimbing anak secara mandiri mengembangkan rasa ingin tahu secara terprogram dan sistematis.

Model evaluasi kegiatan belajar Zakky

Pengembangan sembilan kompetensi esensial yang menjadi tujuan pendidikan nasional menjadi bahan pertimbangan utama untuk melihat kemajuan belajar Zakky setiap hari. Pada kegiatan memetik bunga misalnya, Zakky menilai ada penurunan akhlak mulia karena lupa meminta izin pada pemilik tanaman saat memetiknya. Mencabut dua daun bunga Kembang Sepatu agar dapat menggambar bagian-bagian bunga bersama adiknya mengembangkan kompetensi cakap dan kreatif Zakky. Kompetensi berilmu Zakky peroleh setelah mencari rujukan tentang bagian-bagian bunga dari World Book ensiklopedia danbuku-buku lainnya. Zakky juga menyadari betapa agung Sang pencipta bunga nan indah ini. Keterlibatannya dalam menyusun, melaksanakan, mengembangkan, menilai kegiatan belajar membantu Zakky untuk mengembangkan kompetensi sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Kajian dalam bentuk tabel ini membantu Zakky untuk menyusun jurnal harian dalam bentuk narasi dan deskripsi. Zakky memilih kegiatan berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ingin dipelajarinya pada pekan ini. Beberapa kegiatan lain seperti menggali referensi mengenai penemu terus dilaksanakan setelah kegiatan bermain ke PP IPTEK Taman Mini Indonesia Indah. Membaca koran, fiqh sunnah, sirah nabawiyah, tadarus juz’amma tetap dilakukan. Pekan ini Zakky juga memilih topik tubuh kita untuk memahami sistem tubuhnya.

H. Evaluasi

1. Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh orang tua dan pendidik secara berkala untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

2. Evaluasi peserta didik dan program pendidikan dilakukan oleh Litbang KerLiP secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan.

I. Kalender Pendidikan

Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup: permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif maupun hari libur.

Alokasi waktu pembelajaran di komunitas Rumah KerLiP disesuaikan dengan kebutuhan bimbingan belajar anak. Anak-anak yang bergabung dalam SanDi KerLiP merencanakan kegiatan belajar harian dan mengirimkannya untuk dianalisa Litbang melalui e mail, sedangkan anak-anak yang mengikuti tutorial di Rumah KerLiP Jakarta menyepakati rencana kegiatan tutorial serta membuat tugas – tugas belajar mandiri sesuai dengan minat dan kemampuan anak.

Jurnal harian anak yang dikirim melalui email didokumentasikan dan dianalisa oleh Litbang untuk melihat kebutuhan Tutorial Ayik yang diperlukan guna mendampingi anak dalam mengembangkan kompetensi lulusan tertentu yang memerlukan bimbingan.

Keterbatasan anak-anak marjinal dalam penggunaan e-learning, disiasati dengan bantuan dokumentasi oleh Fitry. Rekapitulasi hasil belajar anak-anak tersebut dianalisa oleh Litbang untuk melihat perkembangan sembilan kompetensi esensial yang menjadi tujuan pendidikan nasional.


BAB IV

A . Kesimpulan

Ø1. Dasar Penyusunan Panduan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Merdeka adalah Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006.

Ø2. Dalam Panduan Kurikulum Pendidikan Anak Merdeka tercantum Visi, Misi, Tujuan SekolahRumah KerLiP, Motto, Struktur, Muatan kurikulum dan Kalender Pendidikan

Ø3. Sebagai lampiran Panduan adalah soft copy CD PMPTK, CACT, Teknik Penilaian, format deteksi awal kebutuhan belajar, contoh format RPP, menyusul modul SETS, IEP dan Pedoman Pengisian IEP.

4. Menyimpang dari ketentuan, untuk pertama kalinya Panduan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Merdeka disusun oleh Manajemen Rumah KerLiP dan akan diedit secara disusun secara partisipatif bersama oleh seluruh warga sekolah dan Komite sekolahanggota dengan memperhatikan kondisi daerah, peserta didik, sarana prasarana pendukung dan dana yang tersedia.

Saran

1. digunakan sebagai salah satu model pembelajaran berbasis keluarga mitra KerLiP.

2. Kepada semua stakeholder Rumah KerLiP Jakarta maupun instansi Komunitas Rumah KerLiP lainnya kiranya diharapkan dapat melakukan penelaahan terhadap panduan ini untuk selanjutnya memberi masukan perbaikan.

C.B. Sumber

1.- Susan Wise Bauer and Jessie Wise,” The Well Trained Mind : a Guide to Classical Education at Home,-Rev. and updated, W.W. Norton & Company, Inc, New York, 2004

2.- Permen 22 tahun 2006, Standar Isi

3.- Yanti Sriyulianti, “Persekolahsekolahan di rumah: Model Pendidikan Anak Merdeka,” Kompas, 15 Januari 2007

4.- M.H. Aripin Ali,” Pelatihan Pengembangan KTSP Berbasis HAM,” disampaikan pada lokakarya dan pelatihan pengembangan KTPS Berbasis HAM, Wisma Rioma, Puncak, 1-3 Desember 2006, Serikat Guru Jakarta

5.- UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

6.- P. Bambang Wisudo,” Pendidikan Alternatif :Gerakan Orang Tua Menembus SekolahSekolah, HU Kompas halaman 14 tanggal 11 Oktober 2006

7.- P. Bambang Wisudo, Pendidikan Alternatif :Anak – anak Merdeka di SD Hikmah Teladan, HU Kompas halaman 14 tanggal 12 Oktober 2006

8.- P. Bambang Wisudo, Pendidikan Alternatif :Guru – guru yang tak Berhenti Belajar, HU Kompas halaman 14 tanggal 13 Oktober 2006

- P. Bambang Wisudo, Sosok :Pemberontakan Aripin Memperbarui SekolahSekolah, HU Kompas tanggal 17 Oktober 2006.

- P. Bambang Wisudo, Pendidikan Untuk Anak ; Suara Mereka Tak Didengar oleh Wakil Rakyat, HU Kompas, Kamis 4 Mei 2006

- Yanti Sriyulianti, Pengalaman membangun gerakan pendidikan alternatif berbasis Keluarga,”Majalah Basis edisi Juli-Agustus 2006

- Alpha Amirurrahman, Yanti Sriyulianti : Promoting Awareness of Education, The Jakarta Post, p. 24, Thursday, 26 Oktober 2006.

- Yanti Sriyulianti, Sekolah-rumah : Model Pendidikan Anak Merdeka, HU Kompas, 15 Januari 2007

- Yanti Sriyulianti , Komunitas Sekolahrumah : Sebuah Model Pemenuhan Hak Atas Pendidikan, HU Kompas, 2 Mei 2007

- Yanti Sriyulianti, Pendidikan Kesetaraan: Elegi bagi Korban UN, HU Kompas, 2 Juli 2007

- Yanti Sriyulianti, Sekolah-Rumah: Mendidik Anak menjadi Pribadi Dewasa, HU Kompas, 2007

- Yanti Sriyulianti dkk, Menggugat Ujian Nasional: Memperbaiki Kualitas Pendidikan, Teraju (PT Mizan Pustaka, Agustus 2007

- Artikel dan berita terkait di HU Kompas, HU Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Republika, Metro TV, Trans TV, SCTV tahun 2006-2007 .