Kamis, 14 Juli 2011

Komunitas Sekolah-rumah : Sebuah Model Pemenuhan Hak atas Pendidikan

SUmber : Kompas, 2007
Memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri
bagi penyelenggara homeschooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi
dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan
untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk
menentukan kelulusan.

Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya,
apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?

Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian
juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan
untuk semua (education for all). Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas bahwa
pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan telah menekankan pentingnya
komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berbasis HAM yang
diimplementasikan untuk semua pada lingkup negara.

Menurut Katarina Tomasevski dalam buku Pendidikan Berbasis Hak Asasi, agar
pendidikan dapat disediakan (available) pemerintah perlu menjamin pendidikan
tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut
menghargai kebebasan para orangtua untuk memilihkan anak-anaknya dalam
memperoleh pendidikan berkualitas.

Agar pendidikan dapat dijangkau (accessible), penghapusan diskriminasi sebagai
mandat dari undang-undang HAM internasional perlu menjadi prioritas kebijakan
pendidikan. Agar pendidikan dapat diterima (acceptable), hak-hak manusia
seyogianya diterapkan dalam proses pembelajaran. Agar pendidikan dapat
disesuaikan (adaptable), pendidikan perlu menyesuaikan minat utama setiap
individu anak.

Di tengah keengganan pemerintah untuk mendengar amanat hati nurani warga negara
terkait dengan korban UN 2006 dan memenuhi amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas
mengenai anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, ada secercah harapan dengan
adanya pengakuan Direktorat Kesetaraan Ditjen PLS Depdiknas terhadap komunitas
sekolah-rumah.

Pendidik terbaik

Apakah saya dapat menjadi pendidik? Hampir semua orangtua akan bertanya seperti
ini ketika memutuskan untuk memilih sekolah-rumah sebagai model pendidikan bagi
anak-anak. Apakah mungkin bagi orangtua untuk beralih fungsi menjadi guru bagi
anak? Bukankah perlu waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kualifikasi guru?

Jawabannya adalah “ya”. Namun, belajar di sekolah sangat berbeda daripada
belajar di sekolah-rumah. Pengelompokan anak-anak sebaya dengan minat dan
kemampuan yang berbeda selama 6-7 jam sehari dalam satu ruang kelas pasti
memerlukan profesional yang sejahtera.

Bagi anak, mengembangkan potensi secara aktif berarti melestarikan pengetahuan,
penguasaan, dan kebajikan dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam
bimbingan pendidik terbaik. Homeschooling atau sekolah-rumah tidak menuntut
orangtua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas. Cukup dengan mendorong
anak untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan
kehangatan keluarga. Keberhasilan sekolah-rumah sebenarnya sudah dimulai ketika
orangtua menyadari bahwa tiap anak adalah sebaik-baiknya ciptaan Tuhan.

Pengalaman belajar kami sebagai orangtua diperoleh ketika Zakky (11), anak kami,
disiapkan untuk sekolah-rumah sejak Oktober 2005 dan berhenti dari sebuah
sekolah alternatif di Jakarta. Sebelumnya, Zakky mendapatkan model pendidikan
anak merdeka dari kelas I sampai IV di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tujuh bulan
lamanya masa transisi dari sekolah ke sekolah-rumah kami lalui dengan membaca
sejarah penemu dan ciptaannya serta melatih cara berpikir kritis, peduli, dan
kreatif untuk menjalankan kembali pendidikan anak merdeka.

Sejarah merupakan gerbang yang membuka cara berpikir dan imajinasi jauh melebihi
dataran, waktu, dan peradaban manusia. Cerita atau dongeng sejarah membantu
anak-anak memahami bagaimana orang- orang pada waktu dan tempat yang berbeda,
bagaimana perbedaan karakteristik masyarakat dan peradaban manusia berubah dan
bagaimana mereka bisa bersama-sama menghasilkan karya- karya terbaik yang tak
lekang oleh zaman. Cerita-cerita terpilih seperti kisah para nabi, biografi
penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sejarah bangsa-bangsa
mendorong motivasi berprestasi, cara menyikapi kegagalan dan kajian untuk
bertahan hidup.

Cerita Fitry (15) tentang mitologi dari negara Skandinavia mengenai penciptaan
dunia manusia yang diperolehnya saat menelusuri referensi tentang gerhana
matahari, atau antusiasme Zakky menggali referensi tentang sejarah penciptaan
alam semesta setelah keluar dari planetarium, menyadarkan saya akan waktu-waktu
berharga untuk tumbuh bersama anak-anak yang sudah lama hilang. Anak- anak pada
dasarnya telah jadi pendidik terbaik.

Awalnya, kami memfasilitasi pembelajaran Zakky dalam bentuk menyediakan guru
dari SD Hikmah Teladan dan mengajak keluarga penggiat sekolah-rumah lainnya
untuk bergabung. Setelah mencari informasi dari beragam sumber, kami memutuskan
untuk membuka komunitas sekolah-rumah dengan menguatkan partisipasi anak dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.

Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya
serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima, serta
rasa persahabatan di antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau
golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian.

Dalam konteks ini, komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan
yang diakui pemerintah ditantang untuk bisa menjamin perlindungan anak agar
tidak menyalahi prinsip penyelenggaraan yang diamanatkan UU Sisdiknas maupun
praktik indoktrinasi yang mengarah pada fanatisme.

Modal belajar

Penyelenggara sekolah-rumah tidak perlu berlelah-lelah dengan batasan kurikulum
dalam sebuah kelas yang disibukkan oleh 24 anak, bahkan lebih. Ketika hambatan
terhadap penghargaan ditiadakan, minat dan kemampuan anak terus digali serta
tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, maka budaya belajar jadi niscaya.

Masalahnya, belum banyak orangtua yang yakin dapat mempraktikkan hal ini.
Seminar, lokakarya, dan pelatihan parenting mungkin dapat membantu. Tapi, ini
belum lengkap tanpa pendampingan program belajar keluarga.

Menghadirkan fasilitator yang berpengalaman dalam mengimplementasikan pendidikan
anak merdeka dalam Forum OK! (Obrolan Keluarga) ternyata dapat memperkuat
komunitas sekolah-rumah.

Setiap keluarga penyelenggara sekolah-rumah dapat berbagi pengalaman belajar
sambil mendiskusikan perkembangan anak- anak dalam suasana yang penuh
kekeluargaan. Bahkan, kini sudah ada asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan
alternatif yang diharapkan dapat menjadi badan amanah bagi komunitas
sekolah-rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia.

Seluruhnya menjadi modal belajar yang sangat berarti bagi komunitas
sekolah-rumah. Apalagi jika komitmen pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menyediakan anggaran yang memadai bagi pemenuhan hak atas pendidikan berkualitas
dan bebas biaya tidak hanya bagi anak-anak sekolah, tetapi juga bagi pelaksana
sekolah-rumah dan pendidikan alternatif segera direalisasikan.

Sumber : Yanti Sriyulianti, Praktisi Pendidikan dan Penggerak Sekolah-Rumah

Tidak ada komentar: