Senin, 02 Juli 2012

Sekolah Rawan Bencana Butuh Peta Risiko

http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-nasional/12/05/27/m4nk97-sekolah-rawan-bencana-butuh-peta-risiko

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sejumlah sekolah termasuk madrasah di daerah rawan bencana harus menjadi perhatian semua pihak. Hal tersebut guna mengurangi risiko bencana di sekolah-sekolah tersebut.

"Semua pihak harus memperhatikan sekolah dan madrasah yang berada di daerah rawan bencana," kata Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman, Yanti Sriyulianti, di Padang, Ahad.

Yanti menyatakan sekolah harus aman dari bencana. Karena itu, standar minimum fisik maupun nonfisik sekolah harus diterapkan pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah yang kini tengah berlangsung.

Langkah tersebut perlua dilakukan untuk mengurangi risiko saat terjadi bencana. Dalam pengurangan risiko bencana tersebut, maka pedoman penerapan sekolah dan madrasah yang aman dari bencana perlu diterapkan.

"Kami memandang perlu untuk melaksanakan pedoman penerapan sekolah dan madrasah yang aman dari bencana," ujar dia. "Peta risiko bencana menggambarkan dengan jelas lokasi sekolah dan ancaman bencana yang dihadapi. Sehingga, kita bisa menentukan konstruksi bangunan sekolah yang dibutuhkan.''

Sekolah Aman Bencana Mendesak Diwujudkan

http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/07/04562196/Sekolah.Aman.Bencana.Mendesak.Diwujudkan

Jakarta, Kompas - Sekolah dan madrasah yang aman dari bencana mendesak untuk segera dibangun. Saat ini sekitar 75 persen sekolah dan madrasah di Indonesia berada pada risiko sedang hingga tinggi dari ancaman bencana.

Yanti Sriyulianti, Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman, Jumat (6/4), di Jakarta, mengatakan, sekolah harus aman dari bencana karena pada satu ruang banyak dihuni anak-anak. Karena itu, standar minimum fisik maupun nonfisik sekolah harus diterapkan pada rehabilitasi sekolah yang berlangsung saat ini.

”Langkah ini untuk mengurangi risiko saat terjadi bencana,” kata Yanti.

Yanti mengatakan, Seknas Sekolah Aman dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang didukung, antara lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pengurus Pusat Ikatan Alumni ITB, serta Perkumpulan Kerlip. Seknas Sekolah Aman membuat pedoman penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.

Menurut Indeks Rawan Bencana Indonesia, hampir seluruh pelosok Nusantara rawan bencana. Jumlah anak sekolah yang terpapar dalam beberapa bencana, seperti gempa bumi, kebakaran, banjir, angin topan, tanah longsor, dan bahaya alam lainnya juga meningkat.

Ruang kelas rusak

Kemdikbud melansir, sampai akhir tahun 2011 sebanyak 194.844 ruang kelas SD dan SMP rusak berat. Data dari Kementerian Agama menunjukkan, dari 208.214 ruang kelas madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah sebanyak 13.247 ruang kelas rusak berat dan 51.036 ruang kelas rusak ringan.

BNPB melansir data sekolah rusak berat pascabencana sepanjang 2009-2011 di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Jambi sebanyak 12.684 ruang kelas. Dari jumlah itu, 244 di antaranya sudah dibangun kembali oleh pemerintah.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim mengatakan, pedoman sekolah/madrasah aman yang disusun beragam pemangku kepentingan ini patut diapresiasi.

”Untuk petunjuk teknis rehabilitasi sekolah tahun 2012 sudah keluar. Tetapi tentu saja aspek keamanan bangunan juga diperhatikan. Dengan adanya pedoman sekolah/madrasah aman yang baru, nanti juga akan dijadikan rujukan dalam rehabilitasi atau pembangunan sekolah-sekolah,” kata Musliar.

(ELN)

Pelajar SMA/MA Digandeng Jadi Mitra Sekolah Aman

http://edukasi.kompas.com/read/2012/04/07/15405878/Pelajar.SMA/MA.Digandeng.Jadi.Mitra.Sekolah.Aman JAKARTA, KOMPAS.com -- Sebanyak 20 pelajar SMA yang aktif dalam kegiatan Pramuka dan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) diajak dalam kegiatan lokakarya dan seminar lingkungan hidup penyelamatan situ dan mata air di Desa Cipeujeuh Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Para pelajar dari SMA/MA swasta ini berasal dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung (Jawa Barat), Banten, Jakarta, dan Rembang (Jawa Tengah). Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman Yanti Sriyulianti mengemukakan, kegiatan mengajak siswa peduli lingkungan dan sekolah Aman ini merupakan bagian dari program GERA SHIAGA sekolah/madrasah. Program GERA SHIAGA adalah Gerakan Aman terintegrasi dengan sehat, hijau, inklusi dan ramah anak dengan dukungan keluarga. "Program ini masih terkait dengan penerapan sekolah Aman dengan menjadikan anak dan kawula muda mitra dalam penerapan sekolah Aman melalui GERA SHIAGA di sekolah/madrasah," jelas Yanti, Sabtu (7/4/2012) di Jakarta. Usai lokakarya di daerah mata air Citarum, para pelajar bakal mendapat pendampingan. Mereka akan dilatih dalam penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari bencana. Kegiatan terlaksana berkat kerja sama dengan Forum Komunikasi Pecinta Alam Kabupaten Bandung. Menurut Yanti, ajakan kepada OSIS untuk menjadikan organisasi siswa ini berfungsi menjadi gerakan siswa bersatu. Kegiatan para pelajar SMA/MA ini juga dilanjutkan dengan gelar budaya. Temanya, Mulasara Cai Tatar Sunda atau memelihara air di wilayah Pasundan.

Program Percontohan Sekolah Aman di 5 Provinsi

http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/28/17490585/Program.Percontohan.Sekolah.Aman.di.5.Provinsi. JAKARTA,KOMPAS.com — Penerapan program sekolah/madrasah aman dikembangkan lewat program percontohan di lima provinsi, yaitu Sumatera Barat (Padang dan Padang Pariaman), Jawa Barat (Kota Bandung dan Kabupaten Bandung), Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Sikka), serta Jawa Tengah (Rembang dan Grobogan). Ketua Sekretariat Nasional Sekolah Aman Yanti Sriyulianti di Jakarta, Senin (28/5/2012), mengatakan, program percontohan ini dapat direplikasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan menjadi pelajaran untuk daerah lain. Penerapan sekolah/madrasah aman ini semestinya diintegrasikan dalam program nasional gerakan penuntasan rehabilitasi sekolah/madrasah untuk menjamin keamanan dari bencana secara struktural (fisik) dan nonstruktural (nonfisik) dengan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran APBN/APBD. Yanti mengatakan, masyarakat juga diajak untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) akan dilaksanakan pada 22-25 Oktober 2012 di Yogyakarta. AMCDRR adalah konferensi tingkat menteri Asia untuk pengurangan risiko bencana. Salah satu caranya dengan mendokumentasikan penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana dalam bentuk foto (sebelum, selama, dan sesudah) pelaksanaan rehabilitasi sekolah/madrasah. Dokumentasi berupa foto yang dilengkapi esai, kemudian dikirimkan ke alamat e-mail seknas.sekolahaman@gmail.com. Pada Mei 2012 telah ditandatangani Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Pedoman tersebut diluncurkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam acara resepsi peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2012. Pedoman ini merupakan hasil sinkronisasi kebijakan dan regulasi yang disusun secara partisipatif melalui konsultasi oleh BNPB dengan kementerian/lembaga/institusi/lembaga swadaya masyarakat (seperti Sekretariat Nasional Sekolah Aman, Perkumpulan Kerlip, Paguyuban ITB88, dan KPB), lembaga donor (seperti GFDRR-BEC-TF World Bank dan Plan Indonesi), perguruan tinggi (PPMB ITB, dan Universitas Binus), lembaga PBB (seperti UNESCO Jakarta), serta mitra lain. Selain tema sinkronisasi kebijakan, penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana juga mengusung dua tema strategis lain, yakni peningkatan partisipasi publik dan pelembagaan. Pembentukan Sekretariat Nasional Sekolah Aman di tingkat nasional, disusul dengan Sekretariat Daerah Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan kini Sumatera Barat merupakan bentuk pelembagaan aktivitas penerapan sekolah/madrasah aman.

Wawancara di Perspektif Baru

http://www.perspektifbaru.com/wawancara/803 Yanti Sriyulianti Publik Harus Awasi Sekolah Edisi 803 | 15 Aug 2011 | Cetak Artikel Ini Salam Perspektif Baru, Tamu kita kali ini adalah aktifis yang datang tepat waktu dan biasa bangun pagi. Dia adalah orang yang peduli, pernah dan terus menerus berkecimpung dalam bidang pendidikan yaitu ibu Yanti Sriyulianti dari Kepala Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) Yanti Sriyuliyanti mengatakan kita harus menumbuhkan kesadaran kritis keluarga dan partisipasi anak terhadap haknya di bidang pendidikan. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih bisa bangkit lagi untuk menyadarkan dirinya bahwa masih ada masalah yang harus terus diawasi agar haknya sebagai warga negara di bidang pendidikan terpenuhi. Dalam hal ini kucuran dana APBN untuk sekolah-sekolah penting diawasi. Di negeri ini 1/3 jumlah penduduk adalah anak-anak. Kalau 1/3 anak sadar tentang hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maka mereka akan terus mengetuk pemerintahnya. Menurut Yanti, pemerintah pusat seharusnya memberikan upaya sosialisasi dan advokasi ke tingkat daerah agar daerah menjadikan urusan pendidikan sebagai prioritas. Sosialisasi serta advokasi ini harus dilakukan secara intensif demi kepentingan terbaik anak karena jumlah anak Indonesia mencapai 1/3 dari penduduk. Anak-anak adalah pemilik bangsa ini sehingga tidak bisa diabaikan. Kalau pada usia anak pemenuhan hak pendidikannya terabaikan bagaimana ketika dia dewasa kelak. Berikut wawancara Didiet Budi Adiputro dan Yanti Sriyulianti. Apa saja bidang advokasi Kepala Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) di dunia pendidikan? Kerlip adalah sebuah gerakan berbasis keluarga tentang bagaimana kesadaran kritis keluarga dibangun untuk mendorong pemenuhan hak hidup bermartabat, terutama pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan anak, dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan kepentingan terbaik anak dan pemberdayaan perempuan. Sejak era reformasi, masyarakat begitu antusias bisa bersuara, ikut berpartisipasi dan ikut mengontrol parlemen. Kemudian ada goodwill dari parlemen kita yang akhirnya memasukkan klausul 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan di konstitusi kita. Ketentuan 20% APBN untuk pendidikan tersebut akhirnya pada 2007 bisa terlaksana dengan penuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana efektifitasnya? Pertama, ketentuan 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan dapat terwujud melalui perjuangan panjang. Dalam hal ini masyarakat bahkan anak sekolah pun ikut mendorong agar eksekutif dan legislatif berkomitmen penuh untuk menjalankan ketentuan UUD 1945 beserta amandemennya ditetapkan tersebut di lapangan. Kesadaran kita sebagai masyarakat cenderung melemah ketika itu sudah diputuskan final. Ternyata, sampai hari ini pun pungutan liar (pungli) di pendidikan dasar di berbagai wilayah masih terjadi. Pungli yang terjadi adalah pembayaran untuk Lembar Kerja Siswa (LKS) padahal buku termasuk LKS di dalamnya gratis. Ada saja alasan untuk ada pungli di sekolah. Contoh lain adalah karya wisata tahunan. Anak yang kondisi keuangan keluarganya untuk makan saja sulit akan terhambat untuk bisa masuk ke sekolah ketika ia merasa harus membayar karya wisata tahunan. Itu akan ditagih terus meskipun namanya sumbangan. Lucu, namanya sumbangan tapi wajib bayar. Dengan catatan-catatan mengenai mekanisme penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih bermasalah, sampai hari ini pun pungli dengan berbagai modusnya masih terjadi di sekolah-sekolah. Seharusnya masyarakat lebih bisa bangkit lagi untuk menyadarkan dirinya bahwa masih ada masalah yang harus terus kita awasi agar haknya sebagai warga negara di bidang pendidikan terpenuhi. Para pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah tidak boleh berpangku tangan juga, justru mereka harus terus menerus menjalankan secara murni dan konsekuen amanat UUD tersebut. Jumlah 20% dari APBN termasuk besar. Berapa kira-kira nilainya? Anggaran 20% sama dengan Rp 263 triliun pada 2011. Tetapi ingat, meskipun Rp 260 triliun alokasi untuk pendidikan bukan berarti itu hanya diurus oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Kemdiknas hanya mengurusi sekitar Rp 60-an triliun. Anggaran senilai Rp 158 triliun disebar ke semua daerah. Sisanya, ada di 13 atau 17 kementerian dan lembaga lain. Ini harus diawasi karena ketika kita bicara tentang keterserapan anggaran pendidikan yang rendah maka hal itu bukan melulu melihat di Kemdiknas. Kita harus melihat juga ke Kementerian Agama (Kemenag). Anggaran pendidikan di Kemdiknas ada Rp 60 - 70 trilun, sedangkan di Kemenag ada sekitar Rp 30 triliun. Berbicara mengenai pendidikan maka kita akan berbicara tentang dua hal yang sangat penting. Pertama, pembangunan infrastruktur yang saat ini kondisinya menyedihkan sekali. Kedua, pembangunan kualitas pendidikan seperti lingkungan, tenaga pengajar dan hal lainnya. Bagaimana pandangan Anda mengenai kedua hal tadi? Dengan masuknya pendidikan sebagai bagian dari otonomi daerah, tentunya urusan daerah tentang pendidikan seharusnya bisa selaras dengan strategi nasional sistem pendidikan nasional. Ada layanan prima dalam pendidikan yang digariskan dalam rencana strategis pendidikan nasional, yang kita sebut 5K. Pertama, ketersediaan yaitu seberapa besar alokasi anggaran untuk menjamin ketersediaan pendidikan dalam delapan standar nasional pendidikan. Dalam hal ini termasuk guru, kurikulum, infrastruktur, pengelolaan, pembiayaan, dan sebagainya. Kedua, keterjangkauan. Wilayah geografis yang luar biasa memiliki ribuan pulau di negeri ini, masalah keterjangkauan menjadi kendala besar. Tidak usah jauh-jauh melihat yang di Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kepulauan Seribu pun masih terkendala dalam hal pemenuhan hak pendidikan anak. Padahal ini masih wilayah Jakarta. Apakah itu maksudnya akses masyarakat untuk menjangkau pendidikan atau pendidikannya tidak menjangkau wilayah itu? Kedua-duanya. Itu karena pendidikan kita lebih besar identik dengan persekolahan. Jadi kemudian anak-anak diarahkan oleh orang tua untuk hanya berbicara tentang pendidikan di sekolah, padahal yang diperlukan adalah upaya-upaya alternatif agar keterjangkauan itu menjadi dimungkinkan. Sebenarnya ada model-model pendidikan non formal - informal yang terbuka kesempatannya, dan ini setara dengan model pendidikan sekolah. Itu juga harus diurus Kemdiknas. Di sana ada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal-Informal (PAUDNI). Tapi keberpihakannya terhadap PAUDNI masih sangat rendah, sehingga kendala keterjangkauan menjadi pekerjaan rumah (PR) besar di daerah perbatasan, kepulauan, dan terpencil. Jadi harus ada model-model yang bisa menjangkau. Apa layanan K berikutnya? Ketiga, kualitas. Kita selalu bicara kualitas identik dengan nilai ujian. Padahal kualitas itu adalah mutu dari layanan pendidikan itu sendiri. Yang namanya sistem ijon menginginkan hasil yang baik, tapi pelayanannya tidak berkualitas. Lalu ada pandangan, "Kalau layanannya harus berkualitas dulu, sampai kiamat tidak akan bisa." Padahal tidak begitu. Kita memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM). Setiap kota/kabupaten memiliki SPM yang jelas sehingga seharusnya mereka berkonsentrasi memenuhi SPM, bukan menagih hasilnya lalu kemudian menghalalkan segala cara untuk bisa kelihatan baik hasilnya. Keempat, kesetaraan gender. Pada 2005 kesetaraan gender dalam hal akses pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki sudah jauh lebih baik. Namun sekarang indeksnya mulai menurun lagi karena memang urusan gender ini harus menjadi arus utama (mainstream). Jadi tidak bisa diurus oleh satu direktorat kecil saja, sehingga ia harus berlelah-lelah untuk meyakinkan yang lainnya. Ini harus diwaspadai. Kelima, kepastian dan keterjaminan. Di sini kita cenderung mengabaikan masalah kepastian dan keterjaminan, yaitu memastikan setiap anak dan keluarganya tidak lagi terbebani oleh pungutan apapun. Dalam amanat UUD 45, pendidikan dasar harus tersedia bebas biaya dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah wajib membiayainya. Jadi bukan dengan sekadar program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Itu membuat pemerintah bukan menjadi pelayan publik, tapi seperti bos. Pemerintah harus benar-benar dapat memberikan pelayanan yang bebas biaya dengan pelayanan yang prima tentunya. Apakah memang Rp 200 triliun tidak cukup untuk membiayai penyediaan lima layanan prima tadi? Saya kira perlu ada prioritas di sini. Dari delapan standar nasional pendidikan yang diturunkan menjadi SPM itu, ada tiga hal utama yang seharusnya menjadi prioritas sebelum hal lainnya dikedepankan. Pertama, masalah kualitas kondisi kerja guru. Ini menjadi masalah karena kondisi kerja guru swasta dan honorer masih sangat tidak memadai untuk kesejahteraan dirinya. Kedua, masalah sarana dan prasarana. Ini bukan seperti ayam dan telur. Ketiga, harus jalan secara bersama-sama, paralel antara guru, sarana-prasarana, dan informasi. Ketika tiga hal itu mengalami kendala maka kita tidak bisa menagih standar nilai yang sama di semua daerah. Misalnya, akses informasinya lebih rendah di daerah-daerah terpencil, maka layanan prima sulit untuk bisa menjangkau daerah itu. Saat ini e-book sudah digratiskan oleh pemerintah pusat, tapi listrik tetap saja masih susah, atau kalau ada pun masih byar pet. Apa yang harus menjadi prioritas pemerintah pusat atau daerah sekarang? Otonomi daerah masih baru dan sedang masa transisi, jadi pemerintah pusat seharusnya memberikan upaya sosialisasi dan advokasi ke tingkat daerah agar daerah menjadikan urusan pendidikan sebagai prioritas. Sosialisasi serta advokasi ini harus dilakukan secara intensif demi kepentingan terbaik anak karena jumlah anak Indonesia mencapai 1/3 dari penduduk. Dia pemilik bangsa ini sehingga tidak bisa diabaikan. Kalau pada usia anak pemenuhan hak pendidikannya terabaikan bagaimana ketika dia dewasa kelak. Apakah kita bisa menyerahkan masa depan bangsa pada anak-anak yang tidak terdidik. Ini yang menjadi pertanyaan besar. Dalam hal ini, anak bisa belajar kalau lingkungannya memang nyaman bagi dia. Lingkungan di sini, bagaimana pelayanan gurunya mengedepankan prinsip-prinsip hak anak. Lalu bagaimana lingkungan hidup dan nilai-nilai luhur itu membangun upaya kondusif agar motivasi belajar anak tidak terkendala. Juga masalah gizi, jajanan yang harus sehat, kebersihan lingkungan, termasuk bangunan. Saat ini masalah bangunan masih menjadi permasalahan besar karena memang sejak 1974 bangunan di beberapa tingkat SD ala kadarnya. Apakah sejak zaman Presiden Soeharto mencanangkan SD Inpres sampai sekarang tidak ada revitalisasi? Ada perbaikan-perbaikan tapi dibandingkan dengan percepatan penyediaan bangunan tidak sebanding dengan penurunan kualitasnya. Sekarang hampir 400.000 ruang kelas rusak. Bahkan rusak berat ada sebanyak 101.000. Tidak layak untuk digunakan. Dari 325.757 ruang kelas yang rusak terjadi bukan karena ada bencana. Jadi tidak ada bencanapun sudah rusak karena dibangun dengan ala kadarnya. Bagaimana anak bisa belajar dengan kondisi seperti itu. Kalau dari sisi guru, saat ini kesejahteraan guru terutama PNS sudah jauh lebih baik dengan adanya Undang-Undang (UU) tentang Guru dan Dosen, meskipun masih bermasalah antara swasta dan honorer yaitu masalah jaminan sosial tenaga kerjanya. Sedangkan untuk fisik (bangunan), saat ini dengan program Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang selalu ke non fisik, maka kesempatan untuk memperbaiki bangunan sekolah menjadi makin sempit. Saya melihat jumlah DAK meningkat terus. Mengapa infrastruktur dikesampingkan? Ya, meningkat terus. Pada tahun ini nilai DAK Rp 10,04 triliun yang sudah disepakati. Sayangnya, sampai hari ini beritanya masih cenderung untuk non fisik. Sudah saatnya eksekutif dan legislatif mendorong agar memprioritaskan masalah sarana-prasarana. Ini berbahaya di tengah risiko bencana yang luar biasa di Indonesia di mana anak-anak sangat banyak berada di sekolah. Apalagi setengah dari ruang kelas yang ada itu sudah rusak. Bagaimana sebenarnya keterserapan dana itu? Apakah dana sebesar itu bisa terserap betul untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas guru, dan lain-lain? Saat ini kendala terbesar keterserapan anggaran adalah masalah mekanisme penyalurannya. Sampai hari ini petunjuk teknis (Juknis) untuk DAK pendidikan kabarnya masih belum disahkan oleh Komisi X. Jadi kita sedang mendorong bagaimana agar Komisi X dan DPR berkomitmen penuh untuk segera mengesahkan Juknis. Sebenarnya kita sudah membantu untuk beberapa item terkait yaitu jaminan aman, selamat dan sehat, agar segera dilaksanakan di daerah. Sekarang sudah Agustus sedangkan Juknisnya belum ada. Pemerintah daerah akan susah juga untuk bekerja kalau Juknisnya belum ada karena DAK pendidikan harus memperhatikan aturan-aturan yang ada di pusat agar selaras dengan target nasional. Apa yang membuat pemerintah tidak bisa menyelesaikan hal yang begitu pentingnya untuk keterserapan anggaran? Saya kira agenda politik kita masih urusan politik yang belum mengarah pada kepentingan terbaik anak. Lihat saja, suara anak masih belum didengar sampai tahun ini. Kalau kita dengarkan saja lirihnya suara anak, kita akan segera memprioritaskan hal-hal yang memang langsung pada pelayanan kebutuhan anak untuk tumbuh kembang, dalam hal ini pendidikan. Padahal menjelang Pemilu selalu keluar lip service mengenai anak dan pendidikan? Ya, dan disebut terus sekolah gratis tapi ternyata pungli di mana-mana. Kalau akhirnya Juknis bisa disahkan oleh DPR dan pemerintah, darimana harus dimulai untuk memperbaiki kondisi pendidikan? Dalam hal rehabilitasi ruang kelas biasanya rumornya terkait korupsi dan kesalahan pembangunan. Dalam hal ini bisa jadi ada mafia pendidikan juga. Di sini penting untuk melatih para pengawas bangunan yang membangun ruang kelas agar memenuhi standar yang diharapkan. Dalam standar sarana-prasarana sudah ditetapkan minimal memenuhi kualitas standar "B". Sekarang kita tambahkan ada jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanannya. Selain itu, ada juga acuan yang sudah sangat detail untuk menilai seberapa rentan sekolah tersebut dan bagaimana cara membangunnya agar lebih baik dari yang sudah ada sekarang. Tujuannya, agar paling tidak 50 - 100 tahun yang akan datang sekolah itu masih tetap berdiri dengan tegak. Kalau terjadi bencana juga runtuhan bangunannya tidak menimpa anak dengan tingkat luka yang membuat jiwa anak terancam. Rehabilitasi harus dikedepankan. Apa yang Kerlip lakukan untuk membantu hal itu? Saat ini yang kita lakukan adalah membangun gerakan siswa bersatu. Tujuannya, agar anak-anak mengenali seberapa aman sekolahnya, jalur mana yang lebih cepat untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana, dan mengenali bagian-bagian mana yang sudah lapuk. Kedua, membangun partisipasi orang tua dalam hal mengadukan adanya hambatan dalam pemenuhan hak pendidikan anak. Kita membuka pos pengaduan setiap pekan, yaitu setiap Jumat kalau di Bandung, sedangkan di Jakarta sebulan sekali menerima pengaduan masyarakat terkait dengan pungutan liar dan lainnya. Upaya besarnya ke arah advokasinya dengan lingkar perlindungan anak dan koalisi pendidikan. Kita mendorong agar di kota Bandung ada peraturan daerah (Perda) yang berpihak pada hak pendidikan anak. Saat ini terkait dengan pungli sudah diurus oleh KPK, jadi itu sesuatu yang menggembirakan. Saatnya bagi keluarga, anak, tetangga, untuk melaporkan kalau ada hal-hal yang membuat mereka terhambat hak pendidikannya. Harus segera dilaporkan. Sedangkan untuk bangunan yang retak, kekerasan terhadap anak (bullying) memang agak sulit untuk diungkap. Namun dampaknya terhadap mental anak luar biasa. Ini karena biasanya bullying berulang dulu, baru kena kemudian. Ini yang bahaya. Yang kita lakukan sekarang juga adalah kampanye sekolah aman sampai 2015. Kita berharap agar masyarakat membangun kesadaran kritisnya sehingga bisa mendorong setidaknya 75% dari sekolah dapat memberikan jaminan hak anak terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan terutama saat terjadi bencana. Apakah Anda optimis atau tidak mengenai dunia pendidikan kita akan semakin baik bila pemerintahnya tetap seperti ini? Saya rasa dengan people power seharusnya lebih optimis. Kita mendorong kesadaran kritis keluarga dan partisipasi anak. Di negeri ini 1/3 jumlah penduduk adalah anak-anak. Kalau 1/3 anak sadar tentang hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maka mereka akan terus mengetuk pemerintahnya.

Publikasi GOCARA

Rabu, 11 Juni 2008 Yanti Sriyulianti Guru sebagai Faktor Penentu Pendidikan yang Bermutu http://tabloidgocara.blogspot.com/2008/06/yanti-sriyulianti-guru-sebagai-faktor.html Setiap harinya siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah/universitas dimulai dari playgroup, taman kanak-kanak, sampai dengan perguruan tinggi. Siswa mengalami banyak perkembangan dalam pembelajaran tersebut. Dari hal tersebut tentunya tidak lepas dari pendidikan awal dan utama yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Dari proses rutinitas timbul rasa keprihatinan terhadap proses pembelajaran di Indonesia pada saat ini. Kadang anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan bagus dengan dana yang sangat besar, juga model pendidikan yang kadang menjadikan anak didiknya sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Hal itulah yang menarik hati Yanti Sriyulianti terhadap dunia pendidikan. Prihatin ketika melihat anaknya mengalami proses kegiatan sekolah, kemudian Yanti Sriyulianti alumni Farmasi ITB ini merasa perlunya ada pembenahan, sehingga dengan beberapa orangtua yang pada saat itu menjadi ”konsumen” membentuk perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLIP). KerLIP tersebut lahir di Kota Kembang – Bandung. Dari keprihatinan tersebut kemudian mengantar Yanti sebagai aktivis pendidikan dengan beberapa kegiatan organisasi. Diantaranya sebagai penggerak homeschooling, Koordinator Himpunan Penyelenggara Sekolah Rumah, Komunitas Belajar Mandiri Indonesia (HIPSKI), Ketua KerLIP, Union Organizer DPP FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) dan juga sebagai wakil koordinator Education Forum. Fase awal sebagai aktivis pendidikan dengan dilatarbelakangi keprihatinan tersebut. Yanti berhasil mendorong terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) tentang Dewan Sekolah di Bandung. Perda tersebut berhasil mengedepankan demokrasi, dengan menempatkan stakeholder (pemegang kekuasaan) pada tempat setara yang mengarah pada perbaikan pendidikan. Yanti melihat di tingkat makro juga terdapat kebijakan pendidikan dalam mendukung pendidikan anak, sehingga dirinya dan beberapa rekan berusaha memperjuangkan apa yang dirasakan perlu?. Dari kebijakan makro tersebut Yanti merasakan terdapat hak warga negara yang dilindungi oleh kebijakan. Dari hal tersebut, menurut Yanti, perlu adanya rasa kesadaran sebagai warga negara dan melakukan advokasi pada proses pendidikan bersama dengan dewan sekolah yang telah terbentuk, ”Namun pada saat itu baru dalam batas atau lingkup persekolahan,” ujar Yanti kepada GOCARA dalam sebuah kesempatan di sebuah wisma di bilangan Kuningan-Jakarta Pusat. Dikatakan, dalam tataran praktek pendidikan, dirasakan banyak keprihatinan terutama pada diri orangtua. Tetapi banyak orangtua menitipkan begitu saja anaknya ke sekolah. Dan, apa yang membuat proses peningkatan mutu pendidikan dari hal yang sangat sederhana. Ketika di Sekolah Dasar (SD), guru sangat berperan penting dan menjadi faktor yang turut mempengaruhi pendidikan juga perkembangan anak. Oleh karena itu semestinya semua pihak menyadari pentingnya memberikan kesejahteraan yang memadai kepada guru, dan hal tersebut bersifat mutlak. Pada bulan Juli 2000, Yanti dan rekan-rekan peduli pendidikan mendirikan sekolah dengan komitmen menempatkan guru sebagai faktor penentu kualitas pendidikan. Persentase perolehan sekolah dari orangtua, 60-70% diberikan kepada kepala sekolah, pegawai sekolah dan juga guru sekolah dengan pendapatan paling besar dimiliki oleh guru. Dari hal tersebut terbentuk mekanisme, prinsip tumbuh bersama sehingga terjadi ”simbosis mutualisme” antara pelayanan yang diberikan oleh seorang guru dengan tingkat kesejahteraannya. Pada tahun pertama berdirinya sekolah tersebut mampu memiliki karyawan dengan gaji diatas batas UMR (Upah Minimum Regional). Gerakan selanjutnya yang dilakukan Yanti adalah ketika mengenal ”education for all” di tingkat makro. Pendidikan dilakukan untuk semua anak, apabila di bilang sekolah unggul maka harus mendidik anak dalam keadaan apapun. Misalnya sekolah didirikan di daerah pabrik maka anak dari masyarakat pabrik tersebutlah yang harus didahulukan. Hal tersebut telah diatur dalam sebuah peraturan pemerintah dan telah disetujui sebagai sebuah kesepakatan bersama. Kemudian dilakukan gerakan kampanye untuk menyediakan peningkatan pendidikan bermutu untuk semua, dan KerLIP sebagai sebuah lembaga advokasi pendidikan mulai menguat dengan bergerak di bidang kebijakan. Tahun 2005 ketika terjadi bencana tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, KerLIP melakukan model pendidikan alternatif dengan pendidikan yang berkesesuaian. Proses akselerasi pendidikan kemudian berkembang, dengan mengintegrasikan keadaan masyarakat sekitar terhadap praktek proses pembelajaran. Sehingga proses pembelajaran terus berjalan. Tahun 2005, Yanti terus berjuang dalam pemenuhan proses pendidikan. Kemudian Yanti bergerak dalam education forum, yang salah satu kegiatannya adalah mengawal bagaimana agar Ujia Aakhir Nasional hanya dijadikan pemetaan kelulusan dan bukan sebagai penentu kelulusan. Yanti juga melakukan support terhadap FGII sebagai mitra pendidikan. Yanti, dalam kecintaannya terhadap pendidikan, juga melihat banyaknya anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah atau belum bisa menikmati proses pendidikan secara luas. Sehingga terbentuklah Yayasan Gerakan Amal Pendidikan Untuk Rakyat (GAPURA) yang pada saat ini mengelola 800-an anak. Undang-undang sisdiknas pasal 1 - 4 dengan pengembangan pendidikan yang dimiliki oleh anak sangat mendukung untuk pengembangan pendidikan anak dalam masyarakat global. Dalam menghadapi kebudayaan yang berakselerasi dalam pendidikan di Indonesia sangat dirasakan penting. Yanti mengatakan, pendidikan sebagai kebudayaan dan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan, mengedepankan budaya dan perilaku bangsa, sangat diperlukan bangsa Indonesia. Karena keduanya tidak dapat dilepaskan. Menurut Yanti, sebagai sebuah negara yang ingin meningkatkan kesejahteraan sangat diperlukan hal yang berkualitas pada semua warga negara terutama dalam pendidikan dasar anak. Peningkatan mutu dengan kualitas guru yang sejahtera sehingga dengan peningkatan pelayanan guru--pendekatan paedagogi dan andragogi--sangat diperlukan dalam konsistensi pendidikan, termasuk beberapa hal yang lain. ”Juga perlu dirasakan dengan karakter bangsa sebagai proses pendidikan, karena hal tersebut sangat diperlukan. Selain itu harus ada gerakan yang menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pendidikan bermutu, bukan pada pembiayaan namun menempatkan pendidikan sebagai proses pembelajaran,” ujar Yanti. Agus

Profil lama

http://www.thejakartapost.com/news/2006/10/26/yanti-sriyulianti-promoting-family-awareness-education.html Alpha Amirrachman, Contributor, Jakarta In 1999, Yanti Sriyulianti was accepted as a learning resource volunteer at the private elementary school where her daughter studied. ""Relations between teachers and parents were conducive, with parents enthusiastically involved in providing alternative solutions to almost every school problem. ""Problems such as a lack of books, class facilities, laboratories and parking were resolved amicably and effectively,"" she told The Jakarta Post recently. However, that did not last long. The new management of the school foundation begin to see the parents as interfering in school affairs. No reasons were provided, but ""it was enough to make me feel disillusioned about what I had expected to be the nurturing democracy of school,"" she said. In fact, many school parent committees have become a rubber stamp for the school management, both in private and public schools. Yanti later gathered several concerned families from the school to have regular meetings at the home of one of the school founders, who threw his support behind their efforts. They discussed a wide range of issues from their experience in educating their children to government education policy. As the gatherings grew larger with more families from different schools joining in, they named their forum KerLIP (Family Forum Concerned with Education) on Dec. 25, 1999, with Yanti becoming its general secretary. KerLIP soon became a critical parent forum that is concerned with the democratization of education. It developed a wide range of activities such as providing financial aid to schools, developing student creativity by holding drawing competition, conducting story-telling training, opening weekend classes for students with disabilities, setting up libraries for low-income families, conducting research on the development of ""liberating education"" -- an education concept that liberates students from a rigid and bureaucratic learning atmosphere. KerLIP implemented the concept in 2001 at Hikmah Pelajar elementary school in Cimahi, West Java. ""Children are sensitive, curious, creative and imaginative. We should be able to nurture these positive characteristics and make use of them during their learning process,"" said Yanti, who has been KerLIP's chairwoman since 2004. However, the present education system prevents students from being creative and imaginative, she said. ""For example, the infamous national exams (UN) which are the only consideration of whether students pass is unfair, because it overlooks students' learning process during years of learning,"" she said. There are only three core subjects being tested. And if a student fails just one of the three subjects, he or she will fail the entire exam and will have to repeat the whole year. ""Do you think that is fair?"" she challenged. ""How can you force someone who is a genius in math to also be a genius in English?"" It is because of this that Yanti and her colleagues began helping students who have failed the national exams. In cooperation with LBH Jakarta and other concerned parties, KerLIP conducted various demonstrations and began advocating for the students. But the challenges are huge and the government has refused to bow to the pressure. Yanti is still optimistic. ""We'll continue the fight,"" she vowed, confident that the public is behind the efforts. Born on July 10, 1969, in Bandung, Yanti was a pharmacy student at the School of Math and Science at Bandung Institute of Technology. Her own experiences made her determined to make sure that every child's right to decent education is ensured, as guaranteed in the Child Protection Law: ""Every child is entitled to an education and teaching to develop her/his personality in line with the level of her/his intellectuality and interests."" Yanti has held various positions. She has participated in Education Network for Justice in association with the Asia Pacific Bureau Adult Education (ASPBAE). She has been involved in activities to ensure that marginalized women can enjoy cheap and quality education. This includes research on privatization on education; analysis on educational budget at national, provincial and local levels, national workshop and a study in West Nusa Tenggara; development of benchmarks of quality education at local levels with a pilot study conducted in Sumatra; and strengthening the national network between working groups that advocate for alternative education. She was a program manager for the Action and Advocation Program for internally displaced women, especially those in illiteracy, internally displaced children, disabilities and marginalized children in Aceh province. She also designed and developed programs of budgeting of school-based management in a number of schools, such as Darul Hikmah institution in Cimahi, SD Hikmah Teladan, and three schools in Garut, Tasikmalaya and Ciamis. KerLIP has also initiated a home-schooling program, which has gradually mushroomed in Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya and Sukabumi. ""Some doubt about the effectiveness of home-schooling, but success stories in many countries such as in the U.S. are evident,"" Yanti said. She added that the daughters of Indonesia's high-flying educationalist Kak Seto pursued home-schooling and one of them has already been accepted in a foreign university. She said that home-schooling is a legal practice as families pursuing home-schooling would just need to report to local Education Office if they would like to receive equalization recognition through special exams. ""One research shows that home-schooling would develop a pattern of family communication that is dynamic and full of love, warmth and liberty for a life-long learning,"" said Yanti, whose one of her three children is also now pursuing home-schooling. Asked about the challenges, she said, ""Many are still only familiar with conventional education with a class, a blackboard, a teacher, and an often uncompromising curriculum. However, when we feel that our children are trapped in an education bureaucracy that prevents their creativity and liberty, family-based education could serve as an alternative.