Senin, 02 Juli 2012

Wawancara di Perspektif Baru

http://www.perspektifbaru.com/wawancara/803 Yanti Sriyulianti Publik Harus Awasi Sekolah Edisi 803 | 15 Aug 2011 | Cetak Artikel Ini Salam Perspektif Baru, Tamu kita kali ini adalah aktifis yang datang tepat waktu dan biasa bangun pagi. Dia adalah orang yang peduli, pernah dan terus menerus berkecimpung dalam bidang pendidikan yaitu ibu Yanti Sriyulianti dari Kepala Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) Yanti Sriyuliyanti mengatakan kita harus menumbuhkan kesadaran kritis keluarga dan partisipasi anak terhadap haknya di bidang pendidikan. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih bisa bangkit lagi untuk menyadarkan dirinya bahwa masih ada masalah yang harus terus diawasi agar haknya sebagai warga negara di bidang pendidikan terpenuhi. Dalam hal ini kucuran dana APBN untuk sekolah-sekolah penting diawasi. Di negeri ini 1/3 jumlah penduduk adalah anak-anak. Kalau 1/3 anak sadar tentang hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maka mereka akan terus mengetuk pemerintahnya. Menurut Yanti, pemerintah pusat seharusnya memberikan upaya sosialisasi dan advokasi ke tingkat daerah agar daerah menjadikan urusan pendidikan sebagai prioritas. Sosialisasi serta advokasi ini harus dilakukan secara intensif demi kepentingan terbaik anak karena jumlah anak Indonesia mencapai 1/3 dari penduduk. Anak-anak adalah pemilik bangsa ini sehingga tidak bisa diabaikan. Kalau pada usia anak pemenuhan hak pendidikannya terabaikan bagaimana ketika dia dewasa kelak. Berikut wawancara Didiet Budi Adiputro dan Yanti Sriyulianti. Apa saja bidang advokasi Kepala Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) di dunia pendidikan? Kerlip adalah sebuah gerakan berbasis keluarga tentang bagaimana kesadaran kritis keluarga dibangun untuk mendorong pemenuhan hak hidup bermartabat, terutama pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan anak, dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan kepentingan terbaik anak dan pemberdayaan perempuan. Sejak era reformasi, masyarakat begitu antusias bisa bersuara, ikut berpartisipasi dan ikut mengontrol parlemen. Kemudian ada goodwill dari parlemen kita yang akhirnya memasukkan klausul 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan di konstitusi kita. Ketentuan 20% APBN untuk pendidikan tersebut akhirnya pada 2007 bisa terlaksana dengan penuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana efektifitasnya? Pertama, ketentuan 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan dapat terwujud melalui perjuangan panjang. Dalam hal ini masyarakat bahkan anak sekolah pun ikut mendorong agar eksekutif dan legislatif berkomitmen penuh untuk menjalankan ketentuan UUD 1945 beserta amandemennya ditetapkan tersebut di lapangan. Kesadaran kita sebagai masyarakat cenderung melemah ketika itu sudah diputuskan final. Ternyata, sampai hari ini pun pungutan liar (pungli) di pendidikan dasar di berbagai wilayah masih terjadi. Pungli yang terjadi adalah pembayaran untuk Lembar Kerja Siswa (LKS) padahal buku termasuk LKS di dalamnya gratis. Ada saja alasan untuk ada pungli di sekolah. Contoh lain adalah karya wisata tahunan. Anak yang kondisi keuangan keluarganya untuk makan saja sulit akan terhambat untuk bisa masuk ke sekolah ketika ia merasa harus membayar karya wisata tahunan. Itu akan ditagih terus meskipun namanya sumbangan. Lucu, namanya sumbangan tapi wajib bayar. Dengan catatan-catatan mengenai mekanisme penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih bermasalah, sampai hari ini pun pungli dengan berbagai modusnya masih terjadi di sekolah-sekolah. Seharusnya masyarakat lebih bisa bangkit lagi untuk menyadarkan dirinya bahwa masih ada masalah yang harus terus kita awasi agar haknya sebagai warga negara di bidang pendidikan terpenuhi. Para pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah tidak boleh berpangku tangan juga, justru mereka harus terus menerus menjalankan secara murni dan konsekuen amanat UUD tersebut. Jumlah 20% dari APBN termasuk besar. Berapa kira-kira nilainya? Anggaran 20% sama dengan Rp 263 triliun pada 2011. Tetapi ingat, meskipun Rp 260 triliun alokasi untuk pendidikan bukan berarti itu hanya diurus oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Kemdiknas hanya mengurusi sekitar Rp 60-an triliun. Anggaran senilai Rp 158 triliun disebar ke semua daerah. Sisanya, ada di 13 atau 17 kementerian dan lembaga lain. Ini harus diawasi karena ketika kita bicara tentang keterserapan anggaran pendidikan yang rendah maka hal itu bukan melulu melihat di Kemdiknas. Kita harus melihat juga ke Kementerian Agama (Kemenag). Anggaran pendidikan di Kemdiknas ada Rp 60 - 70 trilun, sedangkan di Kemenag ada sekitar Rp 30 triliun. Berbicara mengenai pendidikan maka kita akan berbicara tentang dua hal yang sangat penting. Pertama, pembangunan infrastruktur yang saat ini kondisinya menyedihkan sekali. Kedua, pembangunan kualitas pendidikan seperti lingkungan, tenaga pengajar dan hal lainnya. Bagaimana pandangan Anda mengenai kedua hal tadi? Dengan masuknya pendidikan sebagai bagian dari otonomi daerah, tentunya urusan daerah tentang pendidikan seharusnya bisa selaras dengan strategi nasional sistem pendidikan nasional. Ada layanan prima dalam pendidikan yang digariskan dalam rencana strategis pendidikan nasional, yang kita sebut 5K. Pertama, ketersediaan yaitu seberapa besar alokasi anggaran untuk menjamin ketersediaan pendidikan dalam delapan standar nasional pendidikan. Dalam hal ini termasuk guru, kurikulum, infrastruktur, pengelolaan, pembiayaan, dan sebagainya. Kedua, keterjangkauan. Wilayah geografis yang luar biasa memiliki ribuan pulau di negeri ini, masalah keterjangkauan menjadi kendala besar. Tidak usah jauh-jauh melihat yang di Nusa Tenggara Timur (NTT), di Kepulauan Seribu pun masih terkendala dalam hal pemenuhan hak pendidikan anak. Padahal ini masih wilayah Jakarta. Apakah itu maksudnya akses masyarakat untuk menjangkau pendidikan atau pendidikannya tidak menjangkau wilayah itu? Kedua-duanya. Itu karena pendidikan kita lebih besar identik dengan persekolahan. Jadi kemudian anak-anak diarahkan oleh orang tua untuk hanya berbicara tentang pendidikan di sekolah, padahal yang diperlukan adalah upaya-upaya alternatif agar keterjangkauan itu menjadi dimungkinkan. Sebenarnya ada model-model pendidikan non formal - informal yang terbuka kesempatannya, dan ini setara dengan model pendidikan sekolah. Itu juga harus diurus Kemdiknas. Di sana ada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal-Informal (PAUDNI). Tapi keberpihakannya terhadap PAUDNI masih sangat rendah, sehingga kendala keterjangkauan menjadi pekerjaan rumah (PR) besar di daerah perbatasan, kepulauan, dan terpencil. Jadi harus ada model-model yang bisa menjangkau. Apa layanan K berikutnya? Ketiga, kualitas. Kita selalu bicara kualitas identik dengan nilai ujian. Padahal kualitas itu adalah mutu dari layanan pendidikan itu sendiri. Yang namanya sistem ijon menginginkan hasil yang baik, tapi pelayanannya tidak berkualitas. Lalu ada pandangan, "Kalau layanannya harus berkualitas dulu, sampai kiamat tidak akan bisa." Padahal tidak begitu. Kita memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM). Setiap kota/kabupaten memiliki SPM yang jelas sehingga seharusnya mereka berkonsentrasi memenuhi SPM, bukan menagih hasilnya lalu kemudian menghalalkan segala cara untuk bisa kelihatan baik hasilnya. Keempat, kesetaraan gender. Pada 2005 kesetaraan gender dalam hal akses pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki sudah jauh lebih baik. Namun sekarang indeksnya mulai menurun lagi karena memang urusan gender ini harus menjadi arus utama (mainstream). Jadi tidak bisa diurus oleh satu direktorat kecil saja, sehingga ia harus berlelah-lelah untuk meyakinkan yang lainnya. Ini harus diwaspadai. Kelima, kepastian dan keterjaminan. Di sini kita cenderung mengabaikan masalah kepastian dan keterjaminan, yaitu memastikan setiap anak dan keluarganya tidak lagi terbebani oleh pungutan apapun. Dalam amanat UUD 45, pendidikan dasar harus tersedia bebas biaya dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah wajib membiayainya. Jadi bukan dengan sekadar program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Itu membuat pemerintah bukan menjadi pelayan publik, tapi seperti bos. Pemerintah harus benar-benar dapat memberikan pelayanan yang bebas biaya dengan pelayanan yang prima tentunya. Apakah memang Rp 200 triliun tidak cukup untuk membiayai penyediaan lima layanan prima tadi? Saya kira perlu ada prioritas di sini. Dari delapan standar nasional pendidikan yang diturunkan menjadi SPM itu, ada tiga hal utama yang seharusnya menjadi prioritas sebelum hal lainnya dikedepankan. Pertama, masalah kualitas kondisi kerja guru. Ini menjadi masalah karena kondisi kerja guru swasta dan honorer masih sangat tidak memadai untuk kesejahteraan dirinya. Kedua, masalah sarana dan prasarana. Ini bukan seperti ayam dan telur. Ketiga, harus jalan secara bersama-sama, paralel antara guru, sarana-prasarana, dan informasi. Ketika tiga hal itu mengalami kendala maka kita tidak bisa menagih standar nilai yang sama di semua daerah. Misalnya, akses informasinya lebih rendah di daerah-daerah terpencil, maka layanan prima sulit untuk bisa menjangkau daerah itu. Saat ini e-book sudah digratiskan oleh pemerintah pusat, tapi listrik tetap saja masih susah, atau kalau ada pun masih byar pet. Apa yang harus menjadi prioritas pemerintah pusat atau daerah sekarang? Otonomi daerah masih baru dan sedang masa transisi, jadi pemerintah pusat seharusnya memberikan upaya sosialisasi dan advokasi ke tingkat daerah agar daerah menjadikan urusan pendidikan sebagai prioritas. Sosialisasi serta advokasi ini harus dilakukan secara intensif demi kepentingan terbaik anak karena jumlah anak Indonesia mencapai 1/3 dari penduduk. Dia pemilik bangsa ini sehingga tidak bisa diabaikan. Kalau pada usia anak pemenuhan hak pendidikannya terabaikan bagaimana ketika dia dewasa kelak. Apakah kita bisa menyerahkan masa depan bangsa pada anak-anak yang tidak terdidik. Ini yang menjadi pertanyaan besar. Dalam hal ini, anak bisa belajar kalau lingkungannya memang nyaman bagi dia. Lingkungan di sini, bagaimana pelayanan gurunya mengedepankan prinsip-prinsip hak anak. Lalu bagaimana lingkungan hidup dan nilai-nilai luhur itu membangun upaya kondusif agar motivasi belajar anak tidak terkendala. Juga masalah gizi, jajanan yang harus sehat, kebersihan lingkungan, termasuk bangunan. Saat ini masalah bangunan masih menjadi permasalahan besar karena memang sejak 1974 bangunan di beberapa tingkat SD ala kadarnya. Apakah sejak zaman Presiden Soeharto mencanangkan SD Inpres sampai sekarang tidak ada revitalisasi? Ada perbaikan-perbaikan tapi dibandingkan dengan percepatan penyediaan bangunan tidak sebanding dengan penurunan kualitasnya. Sekarang hampir 400.000 ruang kelas rusak. Bahkan rusak berat ada sebanyak 101.000. Tidak layak untuk digunakan. Dari 325.757 ruang kelas yang rusak terjadi bukan karena ada bencana. Jadi tidak ada bencanapun sudah rusak karena dibangun dengan ala kadarnya. Bagaimana anak bisa belajar dengan kondisi seperti itu. Kalau dari sisi guru, saat ini kesejahteraan guru terutama PNS sudah jauh lebih baik dengan adanya Undang-Undang (UU) tentang Guru dan Dosen, meskipun masih bermasalah antara swasta dan honorer yaitu masalah jaminan sosial tenaga kerjanya. Sedangkan untuk fisik (bangunan), saat ini dengan program Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang selalu ke non fisik, maka kesempatan untuk memperbaiki bangunan sekolah menjadi makin sempit. Saya melihat jumlah DAK meningkat terus. Mengapa infrastruktur dikesampingkan? Ya, meningkat terus. Pada tahun ini nilai DAK Rp 10,04 triliun yang sudah disepakati. Sayangnya, sampai hari ini beritanya masih cenderung untuk non fisik. Sudah saatnya eksekutif dan legislatif mendorong agar memprioritaskan masalah sarana-prasarana. Ini berbahaya di tengah risiko bencana yang luar biasa di Indonesia di mana anak-anak sangat banyak berada di sekolah. Apalagi setengah dari ruang kelas yang ada itu sudah rusak. Bagaimana sebenarnya keterserapan dana itu? Apakah dana sebesar itu bisa terserap betul untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas guru, dan lain-lain? Saat ini kendala terbesar keterserapan anggaran adalah masalah mekanisme penyalurannya. Sampai hari ini petunjuk teknis (Juknis) untuk DAK pendidikan kabarnya masih belum disahkan oleh Komisi X. Jadi kita sedang mendorong bagaimana agar Komisi X dan DPR berkomitmen penuh untuk segera mengesahkan Juknis. Sebenarnya kita sudah membantu untuk beberapa item terkait yaitu jaminan aman, selamat dan sehat, agar segera dilaksanakan di daerah. Sekarang sudah Agustus sedangkan Juknisnya belum ada. Pemerintah daerah akan susah juga untuk bekerja kalau Juknisnya belum ada karena DAK pendidikan harus memperhatikan aturan-aturan yang ada di pusat agar selaras dengan target nasional. Apa yang membuat pemerintah tidak bisa menyelesaikan hal yang begitu pentingnya untuk keterserapan anggaran? Saya kira agenda politik kita masih urusan politik yang belum mengarah pada kepentingan terbaik anak. Lihat saja, suara anak masih belum didengar sampai tahun ini. Kalau kita dengarkan saja lirihnya suara anak, kita akan segera memprioritaskan hal-hal yang memang langsung pada pelayanan kebutuhan anak untuk tumbuh kembang, dalam hal ini pendidikan. Padahal menjelang Pemilu selalu keluar lip service mengenai anak dan pendidikan? Ya, dan disebut terus sekolah gratis tapi ternyata pungli di mana-mana. Kalau akhirnya Juknis bisa disahkan oleh DPR dan pemerintah, darimana harus dimulai untuk memperbaiki kondisi pendidikan? Dalam hal rehabilitasi ruang kelas biasanya rumornya terkait korupsi dan kesalahan pembangunan. Dalam hal ini bisa jadi ada mafia pendidikan juga. Di sini penting untuk melatih para pengawas bangunan yang membangun ruang kelas agar memenuhi standar yang diharapkan. Dalam standar sarana-prasarana sudah ditetapkan minimal memenuhi kualitas standar "B". Sekarang kita tambahkan ada jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanannya. Selain itu, ada juga acuan yang sudah sangat detail untuk menilai seberapa rentan sekolah tersebut dan bagaimana cara membangunnya agar lebih baik dari yang sudah ada sekarang. Tujuannya, agar paling tidak 50 - 100 tahun yang akan datang sekolah itu masih tetap berdiri dengan tegak. Kalau terjadi bencana juga runtuhan bangunannya tidak menimpa anak dengan tingkat luka yang membuat jiwa anak terancam. Rehabilitasi harus dikedepankan. Apa yang Kerlip lakukan untuk membantu hal itu? Saat ini yang kita lakukan adalah membangun gerakan siswa bersatu. Tujuannya, agar anak-anak mengenali seberapa aman sekolahnya, jalur mana yang lebih cepat untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana, dan mengenali bagian-bagian mana yang sudah lapuk. Kedua, membangun partisipasi orang tua dalam hal mengadukan adanya hambatan dalam pemenuhan hak pendidikan anak. Kita membuka pos pengaduan setiap pekan, yaitu setiap Jumat kalau di Bandung, sedangkan di Jakarta sebulan sekali menerima pengaduan masyarakat terkait dengan pungutan liar dan lainnya. Upaya besarnya ke arah advokasinya dengan lingkar perlindungan anak dan koalisi pendidikan. Kita mendorong agar di kota Bandung ada peraturan daerah (Perda) yang berpihak pada hak pendidikan anak. Saat ini terkait dengan pungli sudah diurus oleh KPK, jadi itu sesuatu yang menggembirakan. Saatnya bagi keluarga, anak, tetangga, untuk melaporkan kalau ada hal-hal yang membuat mereka terhambat hak pendidikannya. Harus segera dilaporkan. Sedangkan untuk bangunan yang retak, kekerasan terhadap anak (bullying) memang agak sulit untuk diungkap. Namun dampaknya terhadap mental anak luar biasa. Ini karena biasanya bullying berulang dulu, baru kena kemudian. Ini yang bahaya. Yang kita lakukan sekarang juga adalah kampanye sekolah aman sampai 2015. Kita berharap agar masyarakat membangun kesadaran kritisnya sehingga bisa mendorong setidaknya 75% dari sekolah dapat memberikan jaminan hak anak terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan terutama saat terjadi bencana. Apakah Anda optimis atau tidak mengenai dunia pendidikan kita akan semakin baik bila pemerintahnya tetap seperti ini? Saya rasa dengan people power seharusnya lebih optimis. Kita mendorong kesadaran kritis keluarga dan partisipasi anak. Di negeri ini 1/3 jumlah penduduk adalah anak-anak. Kalau 1/3 anak sadar tentang hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maka mereka akan terus mengetuk pemerintahnya.

Tidak ada komentar: