Awal diajak untuk pergi ke Sinabung oleh Bu Yanti saya merasa senang sekali. Karena ini adalah sebuah pengalaman yang sangat menarik dan baru pertama kali saya diberi kesempatan untuk mengunjungi korban bencana.
Jadi, pada tanggal 2 April kita (saya, bu Nia, dan Bu Yanti) bertemu di Cipaganti lalu melanjutkan perjalanan menggunakan travel ke bandara Soekarno Hatta. Setelah itu kami malanjutkan menggunakan pesawat ke bandara Kualanamu. Kami sampai disana sekitar pukul 9 dan langsung menuju ke SMP 2 Simpang Empat tempat Diana dan teman-temannya dari SMAN 1 Simpang 4 menumpang belajar. Kami kesana untuk mengajak anak kelas 10,11,dan 12 membuat Dreams Board.
Kondisi sekolah yang mereka tumpangi ini jauh dari keadaan sekolah-sekolah di kota Bandung yang mendapatkan berbagai fasilitas (tapi kita tidak pernah bersyukur malah lebih sering mengeluh). Di sekolah ini kondisi kelas jauh dari kelayakan bangkunya rusak, atapnya berlubang, banyak sampah berserakan dan kondisi kelas sangat kotor. Kondisi lapangan sekolah juga becek dan berlumpur juga banyak genangan air. Tapi anak-anak SMAN 1 Simpang empat sangat antusias dan kreatif untuk membuat Dreams Board mereka.
Ternyata mereka mempunyai mimpi yang sangat besar untuk bangsa dan negaranya. Selain anak-anaknya, kepala sekolah yang bernama Pak Markoni ini juga beda dari kepala sekolah lainnya. Beliau selalu memfasilitasi dan mendorong murid dan gurunya menjadi lebih baik. Guru-guru disana pun hebat-hebat.
Pentingnya Perlindungan Anak
Anak-anak SMAN 1 Simpang Empat mengalami pembullyan oleh anak-anak SMP yang mereka tumpangi. Hal ini baru untuk saya karena biasanya kakak kelas yang membully. Kasihan sekali kondisi mereka apalagi tenda untuk sekolah darurat di SKB belum memiliki listrik, WC, air bersih dan meubeuler. Jadi belum bisa ditempati oleh mereka padahal untuk kelas 12 sebentar lagi akan menghadapi UN.
Setelah membuat Dreams Board saya pergi ke pengungsian. Disana keadaannya sangat memprihatinkan. Kondisi gudang jeruk yang diubah menjadi tempat pengungsian ini tidak layak. Mereka tidur bersama tanpa ada batas antara laki-laki dan perempuan dan mereka sudah ada disana selama 6 bulan. Selain itu kondisi WC juga memprihatinkan karena hanya ada sedikit WC dan itupun tanpa ada sekat lawan jenis. Kondisi makanannya pun sama memprihatinkannya karena sekarang mereka tidak lagi diberi bantuan makanan padahal mereka ini masih mengungsi dikarenakan tinggal di radius 5km dari gunung Sinabung yang masih harus tetap steril dari kegiatan apapun. Ada 3 hal yang mereka tidak sukai saat mengungsi adalah saat makan, minum dan mandi.
Saya sangat prihatin karena di Bandung kita tidak mengetahui lagi bahwa masih ada pengungsi disini. Kita hanya tahu pada saat awal meletus saja. Tapi kenyataannya kondisi mereka sangat memprihatinkan.
Setelah itu kami istirahat.
Anak-anak yang mengagumkan
Keesokan harinya kami bertemu 2 kepala sekolah, kepala SKB dan dinas setempat di dinas pendidikan. Setelah itu menuju ke SKB untuk bertemu orang tua,guru,serta siswa SMAN 1 Simpang 4 kelas 10 dan 11. Disana kami menyimak dan menyaksikan anak-anak mempresentasikan Dreams Board yang kemarin mereka buat. Anak-anak ini membuat saya kagum menjadi anak Indonesia karena mimpi mereka amat besar dan berguna bagi bangsa dan negaranya. Mereka tidak hanya memikirkan kondisi mereka sendiri tapi mereka juga memikirkan kondisi kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Beda dengan (sebagian) anak-anak kota Bandung yang (saya temui), kalau ditanya cita-cita kebanyakan memilih untuk menjadi dokter, arsitek, insinyur,dan pengusaha. Dan alasan anak kota memilih ini agar mereka punya rumah mewah, mobil bagus dan uang banyak.
Guru serta orang tua pun sampai menangis terharu dan tidak menyangka bahwa anak-anaknya memiliki mimpi yang sangat besar dibalik bencana yang mereka hadapi. Setelah itu kami ke Posko Kabanjahe dan berkesempatan ikut rapat koordinasi. Disana saya sempat kecewa karena saat bangku dll sudah dijanjikan disediakan tapi pada akhirnya tidak jadi. Menurut mereka kenapa masih memlih tenda padahal sudah diungsikan ke sekolah lain yang memiliki tembok? Menurut saya ini sama saja dengan kita punya rumah kardus tapi kita dipaksa menumpang di rumah mewah tapi yang punya rumah ini tidak ikhlas dan tidak senang berada disana. Kalau saya sih lebih memilih tinggal di rumah kardus yang milik saya sendiri.
Setelah itu kami menuju ke kantor Bupati. Alhamdulillah saya dapat bertemu dengan Bupati walaupun hanya bersalaman dan berfoto saja padahal hal ini sama sekali tidak direncanakan. Setelah itu kami mampir di pasar buah Berastagi sebelum kembali ke Medan. Sesampainya di Medan, kami menemui ibu Meutia, psikolog (yang mendampingi penyintas anak) untuk membicarakan kondisi psikososial penyintas anak dan penyepakatan rencana tindak lanjut pengembangan kapasitas guru, anak dan orangtua. Setelah itu kami beristirahat di rumahnya pak ustadz dan berbincang bincang sampai dinihari mengenai kegiatan di Kabanjahe.
Keesokan harinya kami berkunjung ke sekolah tempat pak ustadz mengajar. Kami memfasilitasi murid dan guru membuat kerajinan dari bekas bungkus kemasan makan minum yang sudah mereka bawa dari rumah. Anak-anak sangat bersemangat walaupun kebasahan karena hujan. Mereka tetap mau belajar bersama. Setelah itu pulang ke Bandung. Dan saat saya sekolah saya bercerita kepada teman-teman kelas dan mereka semua sangat prihatin tapi juga kagum dengan mereka.
Semoga saya dapat bertemu mereka lagi suatu saat, dan bertemu anak-anak lainnya yang juga hebat di daerah lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar