Keluarga Indonesia
Apakah harus menunggu korban terus berjatuhan pada usia anak untuk memperbaiki pendidikan?
Kabar yang diterima dari Pak Iwan tentang Agung, siswa SMAN 18 berprestasi dan dapat beasiswa ditolak mendaftar ke Akmil karena tidak lulus UN 2008 dan beberapa anak di SMAN 24 yang khawatir dengan keabsahan ijazah paket C menghantarkanku untuk meminta Depdiknas menerbitkan surat edaran tentang eligibilitas program kesetaraan. Senin lalu begitu fotokopi surat edaran mendiknas tentang eligibilitas Paket A, B, C langsung kusebar melalui email dan surat edaran. Relawan KerLiP di bandung pun mendapat bekal penguat pada saat pers conference Selasa lalu.
Lalu muncul pengaduan dari siswa SMAN 17 Bandung yang diterima di UIN Bandung melalui PMDK dan tidak dapat mendaftar karena tidak lulus UN. Yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa surat edaran tersebut belum disosialisasikan ke PTN/PTS. Bahkan panitia lokal SNMPTN Bandung menolak pendaftar yang menggunakan ijazah Paket C 2008.
Baru saja bersyukur dengan respon dari Dirjen PNFI dan Dirjen Dikti ketika dikonfirmasi masalah ini, Elin mengirim sms tentang berita anak yang bunuh diri di NTT karena tidak lulus UN. Sungguh, penderitaan ini makin tak berujung.
Aku merasakannya sendiri. Sejak kemarin hatiku rusuh karena persiapan putri sulungku untuk mengikuti UNPK. Dia sebenarnya menekuni bahasa melalui homeschooling. Tapi tak ada pilihan lain jika ingin masuk Universitas di Negeri ini harus lulus UN/UNPK. Pendampingan terhadap korban UN 2006 ternyata tidak membuatku sanggup menahan diri ketika masalah ini harus kuhadapi. Bersyukurlah ada teman-teman yang selalu siap mendengarkan dan membantu mencari jalan keluar.
Bagaimana dengan anak-anak yang tak punya keluarga, sahabat dan teman yang mendukung sepenuh hati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar