Pertanyaaan ini jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Apakah obyektivitas sungguh merupakan sebuah tujuan yang diharapkan—atau yang realistis? Diperkirakan, sebuah tugas yang “obyektif” adalah tugas yang tidak bergantung kepada faktor subyektif seperti kepercayaan dan harga dari perbedaan individu; setiap orang harus setuju bahwa sesuatu merupakan baik atau buruk tetap ketidaksetujuan adalah sebuah fakta kehidupan, dan itu bukan hal yang perlu dijauhi. Kau dan aku akan memiliki perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari dalam politik dan budaya, tentang kualitas film-film yang kita tonton dan makanan yang kita telan. Merupakan sebuah hal yang ganjil dan mengganggu bahwa dalam mendidik anak “kita mengharapkan sebuah tugas dengan standar yang berbeda dari normal sepanjang hidup kita.”6
Terlalu banyak standarisasi mengarah kepada sebuah usaha untuk berpura-pura bahwa evaluasi bukan merupakan keputusan ultimatum, bahwa subyektivitas dapat dilampaui. Ini adalah ilusi yang berbahaya. Ahli penguji selalu terlihat mengejar cawan suci dari “ketergantungan antar-pengukur”(“interrater reliability,”) tetapi tidak ada alasan untuk berharap bahwa orang-orang akan selalu melihat dengan mata kepala sendiri tentang harga dari apa yang sudah dikerjakan para pelajar. Jika mereka melakukannya, itu berarti antara bahwa mereka telah menyingkirkan pendapat mereka sendiri dengan patuh dalam rangka memenuhi kriteria orang lain secara membabi buta, atau bahwa tugas yang dipertanyakan cukup dangkal. Sebagai contoh, lebih mudah mendapatkan tugas dimana titik-komanya telah digunakan dengan benar dibanding sebuah esai yang menampilkan pemikiran yang jernih. Pencarian obyektivitas mungkin membimbing kita untuk mengukur pelajar pada dasar kriteria yang jauh lebih tidak penting.7
Tetapi, demi argumen, mari kita menyimpulkan bahwa tugas yang obyektif adalah memungkinkan dan diinginkan. Poin yang paling penting adalah bahwa ujian terstandarisasi tidak menyediakan obyektivitas semacam itu. Hal yang mudah untuk menyimpulkan sebaliknya saat tepat sebuah skor angka telah diberikan kepada pelajar maupun sekolah. Akan tetapi proses pengujian itu sendiri sama sekali bukan seperti, katakanlah, mengukur panjang atau berat suatu benda. Hasilnya mungkin terdengar ilmiah, tetapi sebetulnya mereka muncul dari interaksi antara dua jenis kumpulan manusia: orang dewasa tidak terlihat yang membuat soal, dan barisan anak-anak, dijejali ke bangku-bangku, tanpa henti menulis (atau mengisi bulatan-bulatan).
Pertama, kita perlu tahu tentang isi dari ujian. Apakah kita mengukur hal yang penting? Seseorang dapat mengatakannya sebagai sebuah hal yang “obyektif” dalam artian dikerjakan oleh mesin, tetapi manusialah yang membuat pertanyaannya (yang bisa jadi terbias atau keruh atau bodoh) dan manusialah yang menentukan untuk memasukkannya ke dalam ujian. Keraguan yang wajar seringkali dapat ditingkatkan tentang jawaban manakah yang dapat diterima, bahkan dalam tingkat sekolah dasar, dimana kau mngkin mengira pertanyaannya akan lebih tepat sasaran. Sehingga, membaca karya narasi anak yang berpikir melalui pertanyaan yang diberikan dan sampai pada jawaban yang didikte—hanya untuk menyadari bahwa jawaban-jawaban tersebut telah ditandai sebagai jawaban yang salah8—berarti memahami keterbatasan dari instrumen-instrumen tugas obyektif yang bereputasi baik.
Pentingnya skor bahkan menjadi lebih meragukan lagi saat kita berfokus pada pengalaman para pelajar. Contohnya, kegugupan saat ujian telah tumbuh menjadi salah satu bidang cabang dari psikologi pendidikan, dan kewajarannya berarti bahwa ujian menghasilkan reaksi seperti ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang bagus bagi kita semua tentang apa yang betul-betul diketahui atau dapat dilakukan para pelajar. Semakin banyak ujian yang digunakan untuk “menghitung”—dalam artian menjadi dasar untuk mempromosikan atau menahan pelajar, untuk mendanai atau menutup sebuah sekolah—semkain tumbuh keraguan itu dan hasil ujiannya menjadi semakin buruk.
Kemudian ada para pelajar yang menjalani ujian tetapi tidak menganggapnya serius. Seorang teman saya ingat dengan jelas mengisi bulatan-bulatan itu dengan pensil hingga membentuk sebuah pohon Natal. (Dia dipindahkan ke kelas tingkat-rendah untuk itu, karena skornya dalam hanya satu ujian menjadi bukti yang menentukan apa yang orang lain lihat akan kemampuannya.) Bahkan para pelaksana-ujian yang tidak terlalu kreatif bisa saja secara acak menebak jawabannya, mengisi bulatannya, atau tidak mengerjakan seluruh soal, dapat dimengerti menganggapnya sebagai buang-buang waktu. Singkatnya, bisa jadi bahwa cukup banyak pelajar yang dalam satu sisi tidak peduli dengan ujian, atau sangat peduli sampai mereka dapat tersedak kapanpun, di sisi lain. Sisi manapun, hasil skor sama sekali tidak berarti. Siapapun yang dapat menghubungkan pada penjabaran ini tentang apa yang ada di dalam pikiran pelajar yang sungguh-sungguh pada hari ujian, harus berpikir kembali sebelum merayakan nilai ujian yang tinggi, mengeluh tentang yang rendah, atau menggunakan ujian terstandarisasi untuk menilai sekolah-sekolah...dari Alfie Kohn terjemahan Fitry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar