Mendidik Anak Menjadi Pribadi Dewasa
Tanggal : 30 Jul 2007
Sumber : Kompas
Prakarsa Rakyat,
Yanti Sriyulianti
Ki Hajar Dewantara, 85 tahun yang lalu, mendirikan Perguruan Tamansiswa yang menjalankan "sistem among", yang mendasarkan pada kodrat hidup anak dan kemerdekaan. Ironisnya, asas-asas utama pendidikan yang diperjuangkan Bapak Pendidikan Nasional itu sudah lama terlupakan.
Hal itu terlupakan terutama dalam pendidikan formal, dan terutama lagi di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.
Dalam buku Menyemai Benih Teknologi Pendidikan yang disusun Yusufhadi Miarso, disebutkan bahwa pendidikan yang dikembangkan di Tamansiswa memiliki empat asas perjuangan. Keempat asas itu adalah: (1) adanya seorang untuk mengatur dirinya sendiri; (2) pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia merdeka batin, pikiran, dan tenaga; (3) pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat; dan (4) berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
Dalam konteks inilah, gerakan sekolah-rumah (homeschooling)—yang disinyalir oleh Daoed Joesoef sebagai reaksi personal terhadap pelaksanaan pendidikan formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh ketidakpastian (Kompas, 9 Juni 2007)—seyogianya bercermin pada perjuangan Ki Hajar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Idealnya, penyelenggara sekolah-rumah (baik tunggal, majemuk, maupun komunitas) berupaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mengembangkan potensi anak secara aktif sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya.
Memindahkan praktik-praktik kelas dan kerumitan sekolah ke dalam praktik sekolah-rumah merupakan pengingkaran terhadap kodrat hidup anak dan kemerdekaan serta melanggengkan pelanggaran terhadap tujuan pendidikan nasional.
Partisipasi anak
Pengakuan pemerintah terhadap komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan memperluas akses terhadap pendidikan bermutu untuk semua anak dan hanya dapat tersedia gratis jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayainya.
Fleksibilitas sekolah-rumah memungkinkan setiap anak menjalani proses alamiah untuk menjadi anak mandiri dan bertanggung jawab. Jika sosialisasi diarahkan untuk mendidik anak menjadi dewasa, kekhawatiran yang berlebihan tentang sosialisasi pelaku sekolah-rumah sangat tidak beralasan.
Menurut informasi dalam Wikipedia, sosialisasi adalah sebuah penanaman dan transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Artinya, sosialisasi yang baik di sekolah maupun sosialisasi informal dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan selalu mengarah pada pertumbuhan pribadi anak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya.
Menyadarkan anak akan keberadaan dirinya dengan penekanan pada kepatuhan anak, komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal, serta berisi perintah dan labeling sering terjadi di sekolah. Tuntutan untuk mencapai standar kompetensi dalam setiap mata pelajaran dengan jadwal yang padat serta rendahnya pemahaman guru dan orangtua tentang perlindungan hak anak menjadi pemicu utama tak tercapainya tujuan tersebut. Sosialisasi formal di sekolah yang cenderung represif inilah yang harus dihindari oleh para pelaku sekolah-rumah.
Menjadi tua adalah proses alamiah dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan sadar. Seseorang dianggap dewasa saat menyadari peraturan, mampu bekerja sama, bahkan dengan orang yang belum dikenalnya.
Anak-anak tidak perlu sekolah untuk menjadi dewasa dalam konteks ini. Membuka ruang partisipasi anak dalam bersosialisasi dapat membangun kesadaran bahwa dalam dunia sosial manusia berisi berbagai bentuk manusia. Untuk itu dibutuhkan kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sampai akhirnya anak berani hidup sebagai manusia dewasa dalam masyarakat semesta.
Pemerintah belum dewasa
Harus diakui bahwa perluasan akses pendidikan melalui komunitas sekolah-rumah masih terbatas pada kalangan tertentu. Keberadaan komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan masih seumur jagung.
Wajar jika masih banyak anak usia wajib belajar pendidikan dasar (SD-SMP) dari sekolah-rumah yang tidak diterima di sekolah formal karena alasan yang dicari-cari pihak sekolah, misalnya, tidak tahu tentang komunitas sekolah-rumah.
Kendala lain adalah kecenderungan pemerintah menyosialisasikan ujian nasional (UN) pendidikan kesetaraan hanya untuk mengamankan kebijakan UN reguler di sekolah formal.
Korban kebijakan UN yang berjatuhan setiap tahun hanya dipandang pemerintah sebagai kasus anak-anak malas dan tidak mau bekerja keras. Semuanya terjadi beberapa saat menjelang Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli. Meskipun pemerintah selalu memperingatinya, bahkan menjadikan Hari Anak Nasional tahun 2004 sebagai pencanangan Pendidikan untuk Semua (Education for All), masih terus berjatuhan anak-anak korban kekerasan di sekolah.
Padahal perlindungan anak dari kekerasan di sekolah ditegaskan dalam UU Perlindungan Anak (Pasal 54). Bahwa, anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya.
Begitupun Pasal 3, yang menyebutkan bahwa perlindungan hak-hak anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Hal itu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Anak juga mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Begitu banyak peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat dan menghabiskan uang rakyat, tetapi tidak dianggap penting untuk dilaksanakan. Imbauan untuk duduk bersama memperbaiki pendidikan dari warga negara ditanggapi dengan permainan kata-kata khas anak.
Keputusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat terkait dengan anak-anak yang menjadi korban UN 2006, yang menegaskan bahwa pemerintah telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga negara pada usia anak, terutama hak atas pendidikan dan hak-hak anak, dijawab dengan arogansi kekuasaan.
Sosialisasi dijadikan sebagai alat pemaksaan, bukan proses menanam dan transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat.
Rupanya, pemerintah kita belum dewasa dalam mengurus anak. Apakah para pejabatnya perlu di-"sekolah-rumah"-kan?
Yanti Sriyulianti Penggiat Pendidikan Alternatif, Wakil Koordinator Education Forum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar