Senin, 27 Juni 2011

Berbincang-Bincang Dengan Ibu Posyandu Dago Jati

Minggu ke 6 dan ke 7 ini pertemuan dengan Ibu Posyandu Dago Jati. Ibu Posyandu yang saya temui adalah Ibu Susi sebagai bendahara di Posyandu Dago Jati. Berikut ini hasil perbincangan dengan Ibu Posyandu Dago Jati.

Ibu Susi sudah cukup lama aktif di Posyandu, sehingga sudah cukup hapal dengan nama-nama warga terutama ibu-ibu Dago Jati, khususnya yang memiliki balita. Menurut Ibu Susi, jumlah balita di Posyandu Sektor 1 Dago Jati ini berjumlah sekitar 75 balita. Diantaranya terdapat sekitar 15 balita berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Jumlah 75 balita ini sudah termasuk jumlah balita dari para mahasiswa yang kuliah sambil membawa anak-anaknya ke tempat kost mereka. Ini pun di data oleh Ibu Susi dengan mendatangi langsung ke rumah-rumah/kost-an mereka. Apabila warga baru atau para mahasiswa ini sudah melakukan kewajibannya yaitu melapor ke RT, maka pasti langsung di data oleh Posyandu. Adapun kalau ada warga baru atau para mahasiswa yang memiliki balita tapi tidak terdata oleh Posyandu, biasanya karena mereka belum lapor ke RT setempat.

Pelayanan yang diberikan di Posyandu diantaranya penimbangan, pengukuran tinggi badan, imuinisasi yang diberikan oleh Dokter yang datang ke Posyandu, serta pemberian makanan bergizi, dan pemberian vitamin pada waktu-waktu tertentu. Adapun biaya untuk pemberian konsumsi makanan bergizi bagi balita-balita didapatkan dari iuran ibu-ibu yang memiliki balita dan sumbangan dari Hotel Sheraton. Setiap ibu-ibu yang memiliki balita dimintai sumbangannya sebesar Rp.1000 perbulannya. Tetapi Ibu-ibu Posyandu pun tidak terlalu memaksakan, sumbangan ini bagi mereka yang berkenan mau menyumbang saja. Bagi yang tidak menyumbang pun tidak apa-apa dan tidak ada paksaan. Iuran ini selain untuk tambahan biaya konsumsi pemberian makanan bergizi para balita, juga untuk konsumsi Dokter yang datang ke Posyandu dan juga untuk para pengurus Posyandu.

Kegiatan Posyandu ini diadakan sebulan sekali, tiap hari Kamis pagi, jam 9:00. Apabila kegiatan Posyandu ini di adakan, Ibu Susi selalu mengumumkannya di masjid, untuk mengingatkan dan mengajak ibu-ibu yang memiliki balita agar datang ke Posyandu. Posyandu di RW 06 tempat tinggal Ibu Susi ini terbagi dalam 3 sektor. RT 1,2,3 sektor I, RT 4,5,6 sektor II, dan RT 7,8,9 sektor III. Sedangkan Posyandu yang dikelola oleh Ibu Susi ini termasuk sektor I, wilayah Dago Jati.

Ibu Susi ini selain pengurus Posyandu, dia juga sekaligus sebagai guru Paud di Dago Jati. Paud tempat Ibu Susi mengajar ini bernama Paud Nirwana. Paud ini juga sudah cukup lama berdiri, sudah sekitar 7 tahunan. Pada awalnya murid-muridnya banyak, sekitar 100 orang murid, tetapi sekarang muridnya hanya tinggal 45 orang saja. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya berdiri paud-paud baru yang hampir selalu ada di setiap RW. Tetapi murid-murid yang sekolah di Paud Nirwana ini justru kebanyakkan malah dari RW lain dan dari kelurahan yang lain. Sedangkan anak-anak penduduk setempatnya yang sekolah di Paud Nirwana ini hanya 5 orang saja. Menurut Ibu Susi hal ini disebabkan karena sebagian warga ada yang belum sekolah walaupun sudah cukup umur untuk mengikuti sekolah di Paud. Adapun umur anak yang sudah bisa mengikuti sekolah di Paud ini menurut ibu Susi mulai usia 2-6 tahun. Sedangkan sebagian warga ada juga yang memilih sekolah lain yang menurut mereka lebih bagus.

Tenaga pengajar di Paud Nirwana saat ini ada 5 orang guru, salah satunya Ibu Susi. Biaya untuk bersekolah di Paud ini untuk biaya pendaftaran sebesar Rp. 315.000, dan untuk SPP bulanannya sebesar Rp.20.000 perbulan. Mengenai pembayaran, Ibu Susi pun memberikan keringanan dapat dibayar dengan cara mencicil. Bahkan untuk warga yang memang sama sekali tidak mampu tetapi sangat ingin menyekolahkan anak-anaknya di Paud ini, Ibu Susi memberikan keringanan membayar semampunya atau kalau memang tidak mampu sama sekali, tidak bayar pun tidak apa-apa.

Di Dago Jati ini terdapat dua sekolah untuk anak usia dini, yaitu Paud Nirwana dan TPA Nurul Fikri. Hanya saja TPA Nurul Fikri ini lebih menekankan pada belajar Iqra. Biaya sekolah ini sebesar Rp. 50.000 perbulan.

Sarana prasarana di Paud Nirwana ini sudah cukup lengkap, sebab ibu-ibu pengelola Paud Nirwana ini tak pernah ketinggalan untuk terus mengikuti perkembangan materi-materi baru pengembangan anak usia dini di Departemen Pendidikan. Serta terus mengajukan proposal sehingga Paud Nirwana ini sudah cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah serta mendapatkan dana untuk melengkapi sarana prasarana yang masih dibutuhkan atau untuk mengganti sarana prasarana yang sudah rusak.

Demikian hasil pertemuan dan perbincangan pertama saya dengan Ibu Posyandu Dago Jati. Semoga langkah kita untuk menjalankan program Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI) di kawasan Dago Jati ini tidak akan terlalu sulit, sehingga anak-anak kita akan segera mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang layak dari para orang tua dan lingkungannya.

Ditulis oleh: Fira Naya


Sabtu, 25 Juni 2011

KUMPULAN CERITA IBU-IBU DI BOJONG ASIH (BAGIAN 2)

Cerita Bu Pupung (24 tahun):

Semenjak saya tau bahwa saya hamil, saya mulai menjaga makanan yang saya makan, asupan minum obat juga agak dijaga/tidak sembarang minum obat, selainobat yang dikasi bidan. Tapi ketika bulan ramadhan saya bisa berpuasa penuh 1 bulan walau pada waktu itu saya pernah sakit batuk. Terus suka mendengarkan kaset ngaji, mendengarkan musik klasik, membaca buku/majalah tentang kehamilan. Pas usia kandungan 4 bulan mulai merasakan detak jantung si bayi, terus saya mula sering ngajak bicara, terus usia 5 bulan mulai merasakan gerakan-gerakan. Setelah Rausan lahir awalnya saya agak kikuk waktu mengurusnya tapi sekarang sudah tidak, dan suka ngajak ngobrol, menimang, dll.


Cerita Bu Hani (26 tahun):

Saya yang semula kurang suka bicara, sejak usia Reina sudah menginjak bulan dan bisa merespon, saya jadi lebih banyak bicara karena pengalamanku belum terlalu banyak dan rasa takut kenapa-kenapa, jadi saya nggk suka menitipkan Reina ke orang lain kecuali bapaknya, neneknya. Reina lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Karena lebih banyak menghabiskan waktu bersama jadi lebih tahu kebiasaan kapan waktu Reina mau buang air besar, padahal waktu itu usianya baru menginjak 5 bulan. Dan karena lebih sering diberi pengertian tentang sesuatu hal yang baik dan buruk jadi Reina lebih cepat tangap dan mengerti dan karena saya termasuk ibu yang galak jadi Reina takut tapi suka nurut. Tapi dampaknya Reina labih jadi anak penakut. Tapi sekarang Reina sama seperti anak-anak lain yang senang bermain sesuai dengan usianya. Lain lagi dengan Adel. Adel lebih banyak dengan saudara keluarga dari ayahnya, walaupun Adel termasuk anak yang rewel.


Cerita Bu Yani (24 tahun):

Sejak mengandung setiap saya merasakan ada perubahan pada diri saya, selalu memceritakannya pada suami. Pertama kali saya merasakan gerakan di dalam perut saya ketika suami mengelus-ngelus perut saya seakan-akan bayi dalam perut saya tau kalau ayahnya senang akan kehadirannya. Sejak saat itu setiap pulang kerja suami saya dan suami suka berbicara sambil mengelus-ngelus perut. Setelah anak kami lahir saya dan suami sering bercerita dan mengajak anak bermain. Mengajarkan kata-kata yang mudah diikuti seperti mamah, ayah, mamam, nenen. Karena sekarang anak kami sudah besar sudah banyak yang bisa kami lakukan bersama. Contohnya setiap kami menonton film saya dan suami suka bertanya pada anak suka gak sama filmnya terus siapa tokoh dalam cerita di film itu yang disukainya. Lalu saya akan menyuruh anak saya menceritakan film itu dengan bahasanya yang lucu. Salah satunya lagi ayahnya membiasakan diri setiap mau pergi kerja selalu bepamitan pada anak dengan senangnya anak akan betlari keluar dari rumah mengantar ayahnya sampai depan.


Rabu, 22 Juni 2011

KUMPULAN CERITA IBU-IBU DI BOJONG ASIH (BAGIAN 1)

Cerita Bu Pupung (24 tahun):

Semenjak Rausan punya roda bayi dia senang tidur diluar kalau siang hari. Kalau ditidurin di rumah suka merengek-rengek ga mau, ga betah mungkin karena suasana di rumah agak panas. Terus karena kakeknya ga betah di rumah. Sekarang Rausan sudah mulai bisa merespon kalau diajak bicara.


Cerita Bu Hani (26 tahun):

Adel lebih senang menghabiskan waktu diluar rumah, apalagi kalau ke rumah neneknya. Apalagi kalau menjelang tidur siang suka mencari masalah supaya mamanya marah-marah. Karena kalau di rumah nenek suka dituruti apa yang Adel mau.


Cerita Bu Yani (24 tahun):

Raifan sekarang suka ngompol lagi di celana lebih sering membangkang apa-apa salah, terus rada rewel pokoknya bikin emosi tinggi. Tapi kemampuan berkomunikasinya lebih lancar dia mampu mengunngkapkan perasaannya terus kalau di rumah nenek jadi kolokan, lebih manja dan lebih bermasalah. Kalau pakai baju, sandal, celana atau apapun harus sekehendaknya milih sendiri sudah gak mau diatur.


Senin, 13 Juni 2011

Berbincang-Bincang Dengan Ibu Posyandu Dago Jati

Seharusnya minggu ini adalah pendampingan ibu-ibu Dago Jati memasuki minggu ke – 6.

Tetapi pendampingan pada minggu ini tidak dapat dilakukan karena Ibu-ibu Dago Jati sedang ada acara yang lain. Padahal saya sudah menyiapkan APE (Alat Permainan Edukatif) untuk bermain bersama anak-anak mereka. APE yang sudah saya siapkan yaitu kertas berwarna yang digambar bentuk segi tiga, segi empat dan lingkaran, untuk nanti digunting dan kemudian direkatkan dengan lem sesuai dengan gambar dan bentuk yang sudah disediakan. Melalui permainan ini kita dapat mengenalkan macam-macam bentuk dan juga warna kepada anak-anak. APE ini saya sesuaikan dengan ketentuan APE untuk stimulasi tumbuh kembang anak usia 3-6 tahun.

Berhubung ibu-ibunya dan juga anak-anaknya sedang tidak ada, maka saya pun melanjutkan perjalanan saya menuju rumah Ibu Posyandu. Ibu Posyandu Dago jati RT 4 ini bernama Ibu Susi, satu RT dengan Ibu Fatma, Ibu Kokom, dan Ibu Nia. Begitu saya sampai ke rumahnya kebetulan Ibu Posyandu sedang ada di rumah. Dan saya pun berbincang-bincang dengannya. Ini lah hasil perbincangan saya dengan Ibu Posyandu Dago Jati RT 4.

Ibu Susi sudah cukup lama aktif di Posyandu, sehingga sudah cukup hapal dengan nama-nama warga terutama ibu-ibu Dago Jati, khususnya yang memiliki balita. Menurut Ibu Susi, jumlah balita di Dago Jati RT 4 ini berjumlah sekitar 75 balita. Diantaranya terdapat sekitar 15 balita berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Jumlah 75 balita ini sudah termasuk jumlah balita dari para mahasiswa yang kuliah sambil membawa anak-anaknya ke tempat kost mereka. Ini pun di data oleh Ibu Susi dengan mendatangi langsung ke rumah-rumah/kost-an mereka. Apabila warga baru atau para mahasiswa ini sudah melakukan kewajibannya yaitu melapor ke RT, maka pasti langsung di data oleh Posyandu. Adapun kalau ada warga baru atau para mahasiswa yang memiliki balita tapi tidak terdata oleh Posyandu, biasanya karena mereka belum lapor ke RT setempat.

Pelayanan yang diberikan di Posyandu diantaranya penimbangan, pengukuran tinggi badan, imuinisasi yang diberikan oleh Dokter yang datang ke Posyandu, serta pemberian makanan bergizi, dan pemberian vitamin pada waktu-waktu tertentu. Adapun biaya untuk pemberian konsumsi makanan bergizi bagi balita-balita didapatkan dari iuran ibu-ibu yang memiliki balita dan sumbangan dari Hotel Sheraton. Setiap ibu-ibu yang memiliki balita dimintai sumbangannya sebesar Rp.1000 perbulannya. Tetapi Ibu-ibu Posyandu pun tidak terlalu memaksakan, sumbangan ini bagi mereka yang berkenan mau menyumbang saja. Bagi yang tidak menyumbang pun tidak apa-apa dan tidak ada paksaan. Iuran ini selain untuk tambahan biaya konsumsi pemberian makanan bergizi para balita, juga untuk konsumsi Dokter yang datang ke Posyandu dan juga untuk para pengurus Posyandu.

Kegiatan Posyandu ini diadakan sebulan sekali, tiap hari Kamis pagi, jam 9:00. Apabila kegiatan Posyandu ini di adakan, Ibu Susi selalu mengumumkannya di masjid, untuk mengingatkan dan mengajak ibu-ibu yang memiliki balita agar datang ke Posyandu. Posyandu di RW tempat tinggal Ibu Susi ini terbagi dalam 3 sektor. RT 1,2,3 sektor I, RT 4,5,6 sektor II, dan RT 7,8,9 sektor III. Sedangkan Posyandu yang dikelola oleh Ibu Susi ini termasuk sektor II, sebab berada di RT 4.

Ibu Susi ini selain pengurus Posyandu, dia juga sekaligus sebagai guru Paud di Dago Jati. Paud tempat Ibu Susi mengajar ini bernama Paud Nirwana. Paud ini juga sudah cukup lama berdiri, sudah sekitar 7 tahunan. Pada awalnya murid-muridnya banyak, sekitar 100 orang murid, tetapi sekarang muridnya hanya tinggal 45 orang saja. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya berdiri paud-paud baru yang hampir selalu ada di setiap RW. Tetapi murid-murid yang sekolah di Paud Nirwana ini justru kebanyakkan malah dari RW lain dan dari kelurahan yang lain. Sedangkan anak-anak penduduk setempatnya yang sekolah di Paud Nirwana ini hanya 5 orang saja. Menurut Ibu Susi hal ini disebabkan karena sebagian warga ada yang belum sekolah walaupun sudah cukup umur untuk mengikuti sekolah di Paud. Adapun umur anak yang sudah bisa mengikuti sekolah di Paud ini menurut ibu Susi mulai usia 2-6 tahun. Sedangkan sebagian warga ada juga yang memilih sekolah lain yang menurut mereka lebih bagus.

Tenaga pengajar di Paud Nirwana saat ini ada 5 orang guru, salah satunya Ibu Susi. Biaya untuk bersekolah di Paud ini menurut ibu Susi adalah sebesar Rp.20.000 perbulan. Mengenai pembayaran, Ibu Susi pun memberikan keringanan dapat dibayar dengan cara mencicil Rp.5000 perminggu. Bahkan untuk warga yang memang sama sekali tidak mampu tetapi sangat ingin menyekolahkan anak-anaknya di Paud ini, Ibu Susi memberikan keringanan membayar semampunya atau kalau memang tidak mampu sama sekali, tidak bayar pun tidak apa-apa. Sepertinya masih banyak warga kurang mampu yang memiliki anak usia dini tidak mengetahui hal ini. Mungkin karena mereka kurang mengakses informasi, kurangnya bermasyarakat, atau kurangnya pendekatan dengan Ibu-Ibu pengurus Posyandu dan pengurus Paud.

Di RT 4 ini terdapat dua sekolah untuk anak usia dini, yaitu Paud Nirwana dan TPA Nurul Fikri. Hanya saja TPA Nurul Fikri ini lebih menekankan pada belajar Iqra. Biaya sekolah ini sebesar Rp. 50.000 perbulan.

Sarana prasarana di Paud Nirwana ini sudah cukup lengkap, sebab ibu-ibu pengelola Paud Nirwana ini tak pernah ketinggalan untuk terus mengikuti perkembangan materi-materi baru pengembangan anak usia dini di Departemen Pendidikan. Serta terus mengajukan proposal sehingga Paud Nirwana ini sudah cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah serta mendapatkan dana untuk melengkapi sarana prasarana yang masih dibutuhkan atau untuk mengganti sarana prasarana yang sudah rusak.

Demikian catatan pertemuan saya dengan Ibu Susi, salah seorang penggerak Posyandu yang juga menjadi pengajar di PAUD yang ada di kawasan Dago Jati.

Senin, 06 Juni 2011

PENDAMPINGAN IBU-IBU DAGO JATI

Pendampingan ibu-ibu di Dago jati telah memasuki minggu ke-5. Pertemuan kali ini dihadiri oleh Ibu Fatma dan Ibu Kokom. Obrolan dibuka dengan menanyakan kabar Bu Nia.
“Bu Nia nya kemana?” Tanya kami. Mereka menjawab: “Bu Nia masih bekerja di tempat kemarin.”
Lalu tanpa kami minta, mereka pun menceritakan kondisi Bu Nia yang masih dalam keadaan barkabung, belum bisa menerima kenyataan dengan kepergian suaminya. Bahkan hampir tiap hari mendatangi makam suaminya bersama anaknya yang masih berusia 4 tahun, Bu Nia menangis setiap mendatangi makam suaminya, sambil berkata kalau dia ingin ikut mati juga.
Lalu kami bilang: “ ya…mungkin Bu Nia masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan dengan kepergian suaminya dan beradaptasi dengan kesendiriannya dan juga beradaptasi dengan perannya sebagai ibu sekaligus bapak untuk anak-anaknya. Ya….pasti berat buat Bu Nia, tapi ini pasti hanya sementara, nanti juga pasti dia tidak begitu lagi, semuanya butuh waktu dan proses, walaupun memang setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat ada yang agak lama. Sebaiknya dibantu aja Bu Nia melewati masa ini, biarkan dia curhat dan kalau bisa bawa dia sekali-sekali jalan-jalan.”

Lalu Bu Fatma menjawab: “Kemarin juga sempet dibawa jalan-jalan, tapi dia tetap aja sedih dan menangis”.
Kami jawab: “..ya…nggak apa-apa, sabar aja, hanya butuh waktu, cuma kalau bisa bila Bu Nia ke makam lagi anaknya nggak usah dibawa, karena takut berpengaruh kepada jiwa anaknya bila terlalu sering melihat ibunya menangis.”
Setelah obrolan itu selesai, obrolan dilanjutkan dengan menanyakan beberapa informasi mengenai siapa saja orang-orang yang dapat dihubungi bila ingin mengetahui informasi mengenai Posyandu, PKK dan siapa RT serta RW nya. Berdasarkan informasi mereka diperoleh Ibu Posyandunya bernama Ibu Susi, Ibu PKK, dan RT nya mereka tidak tahu, karena mereka pun masih baru tinggal di Dago Jati, baru sekitar 3 bulanan.
Kemudian Ibu Kokom pun mulai mengeluarkan unek-uneknya mengenai Posyandu. Dia bilang: ” …..saya nggak rutin ikut Posyandu karena tidak pernah diumumkan kapan ada Posyandu dan tidak pernah diajak. Tetapi iuran untuk Posyandu tetap diminta setiap bulannya Rp.1000. Selama ini dia baru 3 X saja ikut Posyandu.
Kemudian obrolan pun berlanjut membahas bahan obrolan minggu lalu mengenai, “Apa yang menurut ibu sudah benar ibu lakukan dalam mengasuh anak.” Dan kami pun membagikan referensi, untuk dibaca dan dibahas bersama.

Bahasan pertama, mengenai bagaimana mengatasi anak yang suka berbohong.
Dan kami membacakan inti pentingnya saja untuk mereka, berdasarkan referensi. Tips menghadapi anak yang suka berbohong, yaitu: “Ajarkan nilai-nilai moral yang berlaku di lingkungan melalui cerita pendek yang dapat dengan mudah dipahami dan diingat oleh anak Anda.” Melalui cara mendongeng ini juga kami memperkenalkan 20 menit yang memukau, yaitu mendongeng untuk anak usia dini yang dilakukan selama 20 menit tanpa gangguan tv, telepon, dll. Kami berikan juga contoh dongeng untuk anak yang suka berbohong. Berikut contoh dongeng yang kami kasih:
Suatu hari… Ada seorang anak bernama Badu. Ia suka berbohong. Akibat ia terbiasa berbohong sejak kecil, tidak ada teman-teman yang mau bermain dengan Badu. Karena terbiasa berbohong, maka sampai besar ia suka berbohong. Sampai ketika suatu waktu Badu membohongi seseorang Ibu, yang lalu Ibu ini melaporkan badu kepada polisi. Polisi lalu menangkap Badu, dan Badu dibawa oleh polisi ke dalam penjara. Karena Badu masuk penjara, ayah dan ibunya bersedih. Karena terus menerus bersedih, ia jadi sakit dan dirawat di RS.
Badu punya teman sejak kecil bernama Iman. Beda dengan Badu, Iman anaknya baik, tidak suka berbohong. Walaupun salah, ia tidak berbohong. Karena tidak suka bohong, teman-teman, Bu Guru, saudara-saudara, semua senang dengan Iman. Ketika sudah besar, karena tidak suka berbohong, orang jadi percaya kepada Iman. Iman jadi mudah mencari uang. Karena Iman punya uang, Ayah Ibunya yang sudah tua, kalau sakit, bisa dibelikan obat oleh Iman.

Bahasan kedua, mengenai bagaimana mengatasi anak yang suka mencuri.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengambilnya. Bagi mereka seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil. Bagi anak kecil pengertian seperti kemilikan atau hak milik adalah sesuatu yang samar-samar. Misalnya saja, pada usia tiga tahunan lebih anak mulai menggunakan kata-kata “.. .ku” atau “.. .mu” dan itu pun mungkin masih dua-tiga tahun lagi digunakan, sedangkan maksudnya tetap masih belum jelas. Untuk itulah perlu satu cara pendekatan yang manis dan akrab untuk mengubah sifat anak yang suka mencuri itu. Dan bila ternyata cara yang akrab itu tidak dicapai, maka buyarlah harapan-harapan anak, dan orang tua bertindak kasar serta mematahkan jiwa anak. Sebaiknya mulai dikenalkan mana barang milik kita dan mana barang milik orang lain, dan kalau kita menginginkan barang orang lain harus minta ijin dulu untuk meminjamnya.

Bahasan ketiga, mengajari etika sejak dini pada anak agar anak santun dalam berbicara:
1.Ucapan Terima Kasih
Biasakan orang tua juga ucapkan terima kasih kepada anak bila anak telah membantu, misalnya. Maka anak akan meniru, jika anak masih sungkan untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain, maka orang tua jangan segan untuk mengucapkan terima kasih atas nama anak. Jika ucapan terima kasih berkali-kali didengarnya, anakpun belajar etika berterima kasih.

2. Ucapan Tolong
Biasakan anak mengucapkan kata “Tolong” saat meminta bantuan orang lain. Misalnya saat minta diambilkan mainan dll. Jangan memaksa dalam mengajarkannya,
lebih baik orang tua yang mencontohkan langsung, ketika ibu minta tolong anak untuk
mengambilkan bunga misalnya, dengan berkata:”bisa tolong ibu ambilkan bunga…?”

3. Ucapan Maaf
Mengajarkan kata “maaf” ini pun dapat dimulai dari orang tua. Misalnya saat orang tua tidak sengaja menginjak mainan anak maka jangan segan mengucapkan kata “Maaf” dengan demikian anak akan tahu bahwa dia harus mengucapkan maaf bila berbuat salah.

4. Ucapan Permisi
Mengajarkan pada anak apabila kita lewat di depan orang lain, atau mau masuk kamar orang lain harus minta ijin dulu dengan mengucapkan “permisi”.

Kami pun berbagi tentang apapun yang kita inginkan atau kita harapkan dari anak kita, misalkan: kita menginginkan anak yang baik, yang jujur, yang beretika, cara yang paling efektif adalah mulai dari orang tua yang harus melakukannya di depan anak. sebab orang tua adalah model yang utama buat anak. Maka orang tua harus menjadi model yang baik buat anak.
Sementara saya ngobrol dengan ibu-ibu, anaknya Bu Fatma yang berusia 3 tahun bermain mewarnai bersama Kak Puput dan temannya. Tetapi nampaknya anak Bu Fatma kurang tertarik untuk mewarnai gambar, dia lebih suka mencoret-coretkan pensil di atas kertas. Terlihat dia sudah bisa memegang pencil dengan baik dan mencoretkannya di atas kertas menurut imajinasinya sendiri.
Lalu kami bertanya: …”apa ibu sering mengajak anak ibu bercerita, bermain seperti ini, menulis, menggambar atau mewarnai? ”
Bu Fatma bercerita, dia kurang meluangkan waktu berdua untuk mendongeng ataupun untuk bermain menggambar atau mewarnai. Hal ini karena Bu Fatma sudah terlalu sibuk memikirkan ekonomi keluarganya, sehingga waktu dan pikirannya habis untuk memikirkan ekonomi keluarga dan juga masalah rumah tangga dengan suaminya. Anaknya lebih sering dibawa suaminya bekerja sebagai tukang service hp, sehingga anaknya pun lebih tertarik dan lebih mengerti dengan hal-hal yang berhubungan dengan hp. Seperti: kartu hp, dia tau bahwa kartu itu untuk hp.
Cerita Bu Fatma yang sangat mengejutkan kami semua, mengenai kebiasaan anaknya bermain dengan pisau, pernah anaknya mengarahkan pisau ke leher ibunya ketika ibunya sedang tidur. Lalu kami bertanya:…” tau darimana anak ibu melakukan itu??......Lalu Ibu Fatma menjawab:…” mungkin karena sering ikut kakak-kakaknya nonton film pembunuhan, vampire, dll. Maka kami pun bilang:…”.kalau kakak-kakaknya sedang nonton vcd seperti itu diusahakan sekali agar anak ibu jangan sampai ikut….sebab kalau dibiarkan bahkan sering, dikhawatirkan akan tertanam dan menjadi karakter…”
Sementara Bu Kokom masih menyempatkan waktunya untuk mengajari anaknya yang sudah berusia 5 tahun, dengan mengenalkan huruf-huruf. Dan hubungan Bu Kokom dengan suaminya pun sudah mulai membaik.
Untuk Bu Fatma kami sharing agar mulai meluangkan waktunya untuk lebih sering bersama anaknya walau hanya 20 menit atau kalau belum bisa 10 menit dulu untuk mendongeng, atau bermain yang bersifat stimulasi tumbuh kembang. Kami sharing juga bahwa untuk melakukan stimulasi pendidikan tidak perlu terlalu bergantung kepada sekolah, pendidikan bisa dimulai dari keluarga dengan memanfaatkan barang-barang yang ada di rumah saja.
Lalu kami beri contoh dengan bunga, karena kebetulan Bu Fatma jualan bunga jadi banyak bunga di rumahnya. Kami contohkan lewat bunga yang ada di rumah ibu Fatma, bahwa dengan bunga yang ada di rumah, Ibu bisa mengenalkan warna kepada anak, dengan mengajak anak bermain dan mengenalkan “…bunga ini warnanya merah dan yang ini warnanya putih dst,….. lalu bisa sama-sama menghitung bunganya ada berapa banyak. Kami bilang juga jangan bertanya dulu atau melakukan test kepada anak sebelum kita mengenalkannya.
Tetapi karena Bu Fatma merasa tidak ada waktu di rumah untuk melakukan itu semua, maka kami bilang, bahwa sambil jualan pun bisa.
Misalnya: ……dengan berkata di depan anak…”wah…Allhamdulillah....kakak tadi beli bunga 2 ikat yang berwarna merah ya…nak…,” dengan sering-sering begitu anak lama-lama akan tau dengan sendirinya mengenai warna dan jumlah.
Sementara kepada Bu Kokom kami bilang…” apa yang ibu lakukan kepada anak dengan mulai mengenalkan huruf, sudah bagus. Hanya saja sebaiknya jangan terlalu memaksa agar anak bisa sampai membaca, takutnya nanti anak malah menjadi jenuh, usahakan suasana yang dirasakan anak adalah bermain, (padahal secara tidak langsung sedang belajar)”
Melihat kondisi ibu-ibu ini dan dari cerita mereka yang waktu dan pikirannya sudah terlalu tersita dengan memikirkan kesulitan ekonomi, sudah terlalu tegang memikirkan kelanjutan hidup, sehingga tidak terpikir lagi untuk menyempatkan waktu bermain, bercerita dengan anaknya, apalagi untuk berpikir kreatif memanfaatkan sarana yang ada di rumah, di lingkungan sekitar sebagai sarana untuk bermain sambil belajar dengan anak-anaknya. Nampak ibu-ibu sendiri pun sudah mulai merasa jenuh dengan kondisinya. Mereka bilang butuh refreshing, tetapi untuk refreshing tetap saja harus keluar biaya, lalu mereka pun teringat dan bercerita bahwa Bu Yanti pernah menjanjikan mau mengajak mereka jalan-jalan ke Care Free Day (maaf kalau salah tulis). Lalu kami bilang:”….Oh..ya…??....nanti ya….kami harus tanya Bu Yanti dulu…untuk kelanjutannya…” (…he..he…mohon maaf Bu Yanti……kami hanya menyampaikan suara ibu-ibu…Dago Jati...he…he....)
Demikian narasi pendampingan ibu-ibu di Dago Jati pada Minggu ke-5. Jalan panjang masih sangat terbentang, masih banyak langkah yang harus kami lalui.

Ditulis oleh : Fira Naya











Rabu, 01 Juni 2011

Catatan dari Dialog Publik “Mengembalikan Kedaulatan Pendidikan Nasional Indonesia”

Dialog Publik “Mengembalikan Kedaulatan Pendidikan Nasional Indonesia” diselenggarakan oleh E-Net for Justice Indonesia, pada hari Selasa, 31 Mei 2011 pukul 13.00-17.00 WIB di Hotel Cemara, Jl. Wahid Hasyin No. 69 Menteng, Jakarta Pusat.
Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa undangan dari:
1). Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan)
2). International NGO Forum for Indonesian Development (INFID)
3). Migrant CARE
4). Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK)
5). Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
6). Sekitar Kita
7). Yayasan ISCO
8). Rindang Banua
9). Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP)
10). Rumpun Gema Perempuan
11). Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM)
12). Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
13). Gerbong Rakyat,dll

Adapun yang menjadi narasumber pada acara ini adalah:
1). Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph. D, Wakil Menteri Pendidikan Nasional
2). Ir. Hetifah Sj. Siswana, MPP, Ph.D, Anggota Komisi X DPR RI
3). Prof. Ahmad Erani Yustika, Ekonom - Guru Besar Universitas Brawijaya
4). St. Sunardi, Dosen Universitas Sanata Dharma

Tema “Mengembalikan Kedaulatan Pendidikan Nasional Indonesia” ini diangkat sebagai salah satu upaya untuk melihat kembali secara kritis situasi pendidikan Indonesia dan praktik-praktik privatisasi yang berlaku di dalamnya, dan untuk merumuskan arahan penyelenggaraan Pendidikan yang berdaulat dan berdasarkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. dengan rumusan tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:
1). Memperluas ruang dialog kritis antara Pemerintah dengan berbagai kelompok masyarakat mengenai isu Privatisasi Pendidikan
2). Menyebarluaskan kajian dan analisis E-Net for Justice tentang Privatisasi Pendidikan
3). Merumuskan arahan untuk penyelenggaraan Pendidikan yang berdaulat dan berdasarkan Hak Asasi Manusia


Sekilas pandang hasil kajian dan analisis E-Net for Justice tentang Privatisasi Pendidikan di Indonesia

Privatisasi pendidikan sebagai upaya pengalihan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan dari Pemerintah kepada masyarakat dan pasar adalah fakta yang tak terbantahkan saat ini. Hampir seluruh produk hukum yang mengatur pendidikan di Indonesia, mulai dari Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai peraturan dibawahnya membenarkan pengalihan tanggungjawab tersebut. Akibatnya biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat semakin tinggi, akses masyarakat – terutama kelompok marginal – rendah, dan kualitas pendidikan hanya mengacu pada kebutuhan pasar. Hal ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi dan mengingkari kesepakatan Internasional terkait pendidikan yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia. Dan dengan demikian mengancam pemenuhan hak rakyat atas pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan penyesuaian struktural yang merupakan prasyarat hutang luar negeri yang mencakup desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, pemungutan biaya pendidikan, pembagian tanggungjawab pendanaan pendidikan dengan masyarakat, spesialisasi pendidikan dan standarisasi hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar. Penyesuaian ini kemudian diatur dalam berbagai bentuk perundangan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) tentang perubahan status empat perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tahun 2000, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77 tahun 2007 yang memperbolehkan modal asing berinvestasi di bidang pendidikan maksimal 49%.
Peraturan perundangan tersebut menaungi berbagai program dan kebijakan penganggaran pendidikan yang menyebabkan rendahnya akses masyarakat pada pendidikan. Beberapa diantaranya adalah Manajemen Berbasis Sekolah, dimasukannya gaji pendidik dan tenaga kependidikan dalam 20% anggaran pendidikan, pengurangan subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, diversifikasi sistem penerimaan mahasiswa yang lebih menonjolkan kemampuan keuangan di Perguruan Tinggi, dibukanya sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah Berstandar Internasional, sertifikasi tenaga kependidikan, guru kontrak, dan pengesahan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan gugatan dari masyarakat sipil.
Penerapan berbagai program dan kebijakan tersebut menyebabkan capaian pendidikan Indonesia mandeg, bahkan cenderung menurun. Indeks Pencapaian Pendidikan untuk Semua (Education for All Development Index) Indonesia menunjukan angka fluktuatif dan cenderung menurun. Tahun 2004 Indonesia termasuk negara dengan capaian menengah dan menempati urutan ke 58 dari seluruh negara dan terus merosot sampai urutan ke 69 pada tahun 2008[1]. Kementerian Pendidikan Nasional mencatat ada 1.585.708 anak usia sekolah yang hanya dapat menikmati Pendidikan Dasar dan 46,8% diantaranya putus sekolah[2]; ada 50.9% anak yang dapat mencapai Pendidikan Menengah dan 17.25% yang mencapai Pendidikan Tinggi. Dan terkait keaksaraan, UNESCO mencatat masih ada 12.864.000 orang berusia di atas 15 tahun yang buta huruf, 70% diantaranya perempuan dan 10,78%-nya berusia 15-24 tahun[3].

Hasil analisis terkait Privatisasi Pendidikan
PETA PENDIDIKAN INDONESIA

1). Partisipasi Sekolah
Ada peningkatan yang cukup signifikan terkait pratisipasi sekolah dari tingkat pendidikan yang paling dasar sampai di
tingkat paling tinggi
2). Kualitas Penduduk yang melek huruf
Terdapat peningkatan/ perbaikan akan tetapi masih terdapat diskriminasi terkait gender
3). Angkatan Kerja
Terjadi peningkatan akan tetapi relatif berjalan lamban

PERANGKAP PENDIDIKAN
1). Intervensi Birokrasi
2). Liberalisasi dan Privatisasi Pendidikan
3). Proyek "Internalisasi"

PROBLEM PENDIDIKAN NASIONAL
1). Kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah
2). Terdapat kesenjangan terkait infrastruktur sekolah
3). Akses Pendidikan
Belum ada study terkait upaya yang konfrehensif tentang aksesibilitas pendidikan

PRIVATISASI PENDIDIKAN
1). Masalah akses makin mengemuka
Isu yang berkembang " siapa yang mempunyai daya beli dia yang bisa mengakses pendidikan "
2). Dengan adanya privatisasi pendidikan identitas karakter bangsa secara perlahan menjadi hilang
3). Adanya disorientasi kebijakan negara
- Kebijakan Politik
- Kebijakan Ekonomi
- Kebijakan Hukum, dll

Upaya yang Bisa dilakukan Terkait Masalah Privatisasi Pendidikan di Indonesia
1). Mendorong RAPBN 2012 agar tetap dapat memenuhi amanat UUD 1945
2). Mendorong penyediaan anggran pendidikan yang lebih menjamin ketersediaan dana bagi pendidikan gratis dan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara.
3). Mendorong keterbukaan informasi publik terkait dengan kebijakan program dan anggaran pendidikan melalui berbagai saluran komunikasi.
4). Meningkatkan pratisipasi dan pengawasan pelaksanaan anggaran.

Diakhir acara ada season tanya jawab yang diakhiri dengan pembuatan kesimpulan hasil dialog yang dibacakan oleh Muhammad Firdaus sebagai moderator dari Dewan Pengawas E-Net for Justice Indonesia.


Ditulis oleh Muhammad Galuh
Saya Muhammad Galuh sebagai salah satu perwakilan dari KerLIP dan beberapa rekan kerLIP yang lain yaitu Ibu Yanti, Fitry, dan Intan, berangkat jam 07.00 pagi menuju Jakarta untuk menghadiri kegiatan Dialog Publik “Mengembalikan Kedaulatan Pendidikan Nasional Indonesia” yang dilaksanakan pada hari Selasa, 31 Mei 2011 pukul 13.00-17.00 WIB di Hotel Cemara, Jl. Wahid Hasyin No. 69 Menteng, Jakarta Pusat.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh E-Net for Justice Indonesia dengan dihadiri oleh beberapa anggota sebagai tamu undangan yang terdiri dari:

1). Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan)

2). International NGO Forum for Indonesian Development (INFID)

3). Migrant CARE

4). Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK)

5). Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

6). Sekitar Kita

7). Yayasan ISCO

8). Rindang Banua

9). Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP)

10). Rumpun Gema Perempuan

11). Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal (LAPAM)

12). Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

13). Gerbong Rakyat,dll

dan dengan narasumber yang terdiri dari:

1). Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph. D, Wakil Menteri Pendidikan Nasional

2). Ir. Hetifah Sj. Siswana, MPP, Ph.D, Anggota Komisi X DPR RI

3). Prof. Ahmad Erani Yustika, Ekonom - Guru Besar Universitas Brawijaya

4). St. Sunardi, Dosen Universitas Sanata Dharma

Tema ini diangkat sebagai salah satu upaya untuk melihat kembali secara kritis situasi pendidikan Indonesia dan praktik-praktik privatisasi yang berlaku di dalamnya, dan untuk merumuskan arahan penyelenggaraan Pendidikan yang berdaulat dan berdasarkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. dengan rumusan tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:

1). Memperluas ruang dialog kritis antara Pemerintah dengan berbagai kelompok masyarakat mengenai isu Privatisasi Pendidikan

2). Menyebarluaskan kajian dan analisis E-Net for Justice tentang Privatisasi Pendidikan

3). Merumuskan arahan untuk penyelenggaraan Pendidikan yang berdaulat dan berdasarkan Hak Asasi Manusia

Sekilas pandang hasil kajian dan analisis E-Net for Justice tentang Privatisasi Pendidikan di Indonesia

Privatisasi pendidikan sebagai upaya pengalihan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan dari Pemerintah kepada masyarakat dan pasar adalah fakta yang tak terbantahkan saat ini. Hampir seluruh produk hukum yang mengatur pendidikan di Indonesia, mulai dari Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai peraturan dibawahnya membenarkan pengalihan tanggungjawab tersebut. Akibatnya biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat semakin tinggi, akses masyarakat – terutama kelompok marginal – rendah, dan kualitas pendidikan hanya mengacu pada kebutuhan pasar. Hal ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi dan mengingkari kesepakatan Internasional terkait pendidikan yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia. Dan dengan demikian mengancam pemenuhan hak rakyat atas pendidikan.

Pemerintah Indonesia telah melakukan penyesuaian struktural yang merupakan prasyarat hutang luar negeri yang mencakup desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, pemungutan biaya pendidikan, pembagian tanggungjawab pendanaan pendidikan dengan masyarakat, spesialisasi pendidikan dan standarisasi hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar. Penyesuaian ini kemudian diatur dalam berbagai bentuk perundangan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) tentang perubahan status empat perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tahun 2000, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77 tahun 2007 yang memperbolehkan modal asing berinvestasi di bidang pendidikan maksimal 49%.

Peraturan perundangan tersebut menaungi berbagai program dan kebijakan penganggaran pendidikan yang menyebabkan rendahnya akses masyarakat pada pendidikan. Beberapa diantaranya adalah Manajemen Berbasis Sekolah, dimasukannya gaji pendidik dan tenaga kependidikan dalam 20% anggaran pendidikan, pengurangan subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, diversifikasi sistem penerimaan mahasiswa yang lebih menonjolkan kemampuan keuangan di Perguruan Tinggi, dibukanya sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional dan Sekolah Berstandar Internasional, sertifikasi tenaga kependidikan, guru kontrak, dan pengesahan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan gugatan dari masyarakat sipil.

Penerapan berbagai program dan kebijakan tersebut menyebabkan capaian pendidikan Indonesia mandeg, bahkan cenderung menurun. Indeks Pencapaian Pendidikan untuk Semua (Education for All Development Index) Indonesia menunjukan angka fluktuatif dan cenderung menurun. Tahun 2004 Indonesia termasuk negara dengan capaian menengah dan menempati urutan ke 58 dari seluruh negara dan terus merosot sampai urutan ke 69 pada tahun 2008[1]. Kementerian Pendidikan Nasional mencatat ada 1.585.708 anak usia sekolah yang hanya dapat menikmati Pendidikan Dasar dan 46,8% diantaranya putus sekolah[2]; ada 50.9% anak yang dapat mencapai Pendidikan Menengah dan 17.25% yang mencapai Pendidikan Tinggi. Dan terkait keaksaraan, UNESCO mencatat masih ada 12.864.000 orang berusia di atas 15 tahun yang buta huruf, 70% diantaranya perempuan dan 10,78%-nya berusia 15-24 tahun[3].



Hasil analisis terkait Privatisasi Pendidikan

PETA PENDIDIKAN INDONESIA

1). Partisipasi Sekolah

Ada peningkatan yang cukup signifikan terkait pratisipasi sekolah dari tingkat pendidikan yang paling dasar sampai di

tingkat paling tinggi

2). Kualitas Penduduk yang melek huruf

Terdapat peningkatan/ perbaikan akan tetapi masih terdapat diskriminasi terkait gender

3). Angkatan Kerja

Terjadi peningkatan akan tetapi relatif berjalan lamban



PERANGKAP PENDIDIKAN

1). Intervensi Birokrasi

2). Liberalisasi dan Privatisasi Pendidikan

3). Proyek "Internalisasi"

PROBLEM PENDIDIKAN NASIONAL

1). Kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah

2). Terdapat kesenjangan terkait infrastruktur sekolah

3). Akses Pendidikan

belum ada study terkait upaya yang konfrehensif tentang aksesibilitas pendidikan



PRIVATISASI PENDIDIKAN

1). Masalah akses makin mengemuka

Isu yang berkembang " siapa yang mempunyai daya beli dia yang bisa mengakses pendidikan "

2). Dengan adanya privatisasi pendidikan identitas karakter bangsa secara perlahan menjadi hilang

3). adanya disorientasi kebijakan negara

- Kebijakan Politik

- Kebijakan Ekonomi

- Kebijakan Hukum, dll



Upaya yang Bisa dilakukan Terkait Masalah Privatisasi Pendidikan di Indonesia

1). Mendorong RAPBN 2012 agar tetap dapat memenuhi amanat UUD 1945

2). Mendorong penyediaan anggran pendidikan yang lebih menjamin ketersediaan dana bagi pendidikan gratis dan

pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara.

3). Mendorong keterbukaan informasi publik terkait dengan kebijakan program dan anggaran pendidikan melalui berbagai

saluran komunikasi.

4). Meningkatkan pratisipasi dan pengawasan pelaksanaan anggaran.

Diakhir acara ada season tanya jawab yang diakhiri dengan pembuatan kesimpulan hasil dialog yang dibacakan oleh Muhammad Firdaus sebagai moderator dari Dewan Pengawas E-Net for Justice Indonesia.

Demikian sekilas cacatan ringkas yang bisa saya sampaikan... mudah mudahan bermanfaat

Muhammad Galuh "ralawan kerLIP"