Kamis, 14 Agustus 2008

kabar gembira

Alhamdulillah...

Ada sms dari keluarga Arky bahwa ananda Arky diterima di FK UI
Semoga berhasil ya.

Semalam Fitry bercerita tentang serunya diskusi bersama tgeman-teman mahasiswa baru.
Ada anak yang mencoba berempati. Dikiranya anak homeschooling tidak terbiasa dengan riuh rendah orang berdiskusi. Dengan tangkas dijawab Fitry bahwa dia justru lebih sering berdiskusi dengan berbagai kalangan setelah pindah jalur ke homeschooling. Wah!

Sayangnya ada sms masuk dari pendamping anak jura dari SMA N17 Bandung korban UN 2008. Kabarnya ananda tidak lulus UNPK Paket C 2008. Bagaimana nasib kuliah di UIN nya. Ananda dinyatakan masuk lewat PMDK oleh UIN, sempat terhambat pendaftaran karena tidak lulus UN. Setelah didampingi para 'advokat' KerLiP akhirnya bisa mendaftarkan diri ke UIN dan melengkapi ijazah Paket C nya setelah lulus UNPK Paket C. Kabar berikutnya bekum diterioma dari Ova dkk.

Selasa, 05 Agustus 2008

Tapi bukankah kita membutuhkan sebuah alat ukur untuk keberhasilan?

Pertanyaaan ini jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Apakah obyektivitas sungguh merupakan sebuah tujuan yang diharapkan—atau yang realistis? Diperkirakan, sebuah tugas yang “obyektif” adalah tugas yang tidak bergantung kepada faktor subyektif seperti kepercayaan dan harga dari perbedaan individu; setiap orang harus setuju bahwa sesuatu merupakan baik atau buruk tetap ketidaksetujuan adalah sebuah fakta kehidupan, dan itu bukan hal yang perlu dijauhi. Kau dan aku akan memiliki perbedaan pendapat yang tak dapat dihindari dalam politik dan budaya, tentang kualitas film-film yang kita tonton dan makanan yang kita telan. Merupakan sebuah hal yang ganjil dan mengganggu bahwa dalam mendidik anak “kita mengharapkan sebuah tugas dengan standar yang berbeda dari normal sepanjang hidup kita.”6

Terlalu banyak standarisasi mengarah kepada sebuah usaha untuk berpura-pura bahwa evaluasi bukan merupakan keputusan ultimatum, bahwa subyektivitas dapat dilampaui. Ini adalah ilusi yang berbahaya. Ahli penguji selalu terlihat mengejar cawan suci dari “ketergantungan antar-pengukur”(“interrater reliability,”) tetapi tidak ada alasan untuk berharap bahwa orang-orang akan selalu melihat dengan mata kepala sendiri tentang harga dari apa yang sudah dikerjakan para pelajar. Jika mereka melakukannya, itu berarti antara bahwa mereka telah menyingkirkan pendapat mereka sendiri dengan patuh dalam rangka memenuhi kriteria orang lain secara membabi buta, atau bahwa tugas yang dipertanyakan cukup dangkal. Sebagai contoh, lebih mudah mendapatkan tugas dimana titik-komanya telah digunakan dengan benar dibanding sebuah esai yang menampilkan pemikiran yang jernih. Pencarian obyektivitas mungkin membimbing kita untuk mengukur pelajar pada dasar kriteria yang jauh lebih tidak penting.7

Tetapi, demi argumen, mari kita menyimpulkan bahwa tugas yang obyektif adalah memungkinkan dan diinginkan. Poin yang paling penting adalah bahwa ujian terstandarisasi tidak menyediakan obyektivitas semacam itu. Hal yang mudah untuk menyimpulkan sebaliknya saat tepat sebuah skor angka telah diberikan kepada pelajar maupun sekolah. Akan tetapi proses pengujian itu sendiri sama sekali bukan seperti, katakanlah, mengukur panjang atau berat suatu benda. Hasilnya mungkin terdengar ilmiah, tetapi sebetulnya mereka muncul dari interaksi antara dua jenis kumpulan manusia: orang dewasa tidak terlihat yang membuat soal, dan barisan anak-anak, dijejali ke bangku-bangku, tanpa henti menulis (atau mengisi bulatan-bulatan).
Pertama, kita perlu tahu tentang isi dari ujian. Apakah kita mengukur hal yang penting? Seseorang dapat mengatakannya sebagai sebuah hal yang “obyektif” dalam artian dikerjakan oleh mesin, tetapi manusialah yang membuat pertanyaannya (yang bisa jadi terbias atau keruh atau bodoh) dan manusialah yang menentukan untuk memasukkannya ke dalam ujian. Keraguan yang wajar seringkali dapat ditingkatkan tentang jawaban manakah yang dapat diterima, bahkan dalam tingkat sekolah dasar, dimana kau mngkin mengira pertanyaannya akan lebih tepat sasaran. Sehingga, membaca karya narasi anak yang berpikir melalui pertanyaan yang diberikan dan sampai pada jawaban yang didikte—hanya untuk menyadari bahwa jawaban-jawaban tersebut telah ditandai sebagai jawaban yang salah8—berarti memahami keterbatasan dari instrumen-instrumen tugas obyektif yang bereputasi baik.

Pentingnya skor bahkan menjadi lebih meragukan lagi saat kita berfokus pada pengalaman para pelajar. Contohnya, kegugupan saat ujian telah tumbuh menjadi salah satu bidang cabang dari psikologi pendidikan, dan kewajarannya berarti bahwa ujian menghasilkan reaksi seperti ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang bagus bagi kita semua tentang apa yang betul-betul diketahui atau dapat dilakukan para pelajar. Semakin banyak ujian yang digunakan untuk “menghitung”—dalam artian menjadi dasar untuk mempromosikan atau menahan pelajar, untuk mendanai atau menutup sebuah sekolah—semkain tumbuh keraguan itu dan hasil ujiannya menjadi semakin buruk.

Kemudian ada para pelajar yang menjalani ujian tetapi tidak menganggapnya serius. Seorang teman saya ingat dengan jelas mengisi bulatan-bulatan itu dengan pensil hingga membentuk sebuah pohon Natal. (Dia dipindahkan ke kelas tingkat-rendah untuk itu, karena skornya dalam hanya satu ujian menjadi bukti yang menentukan apa yang orang lain lihat akan kemampuannya.) Bahkan para pelaksana-ujian yang tidak terlalu kreatif bisa saja secara acak menebak jawabannya, mengisi bulatannya, atau tidak mengerjakan seluruh soal, dapat dimengerti menganggapnya sebagai buang-buang waktu. Singkatnya, bisa jadi bahwa cukup banyak pelajar yang dalam satu sisi tidak peduli dengan ujian, atau sangat peduli sampai mereka dapat tersedak kapanpun, di sisi lain. Sisi manapun, hasil skor sama sekali tidak berarti. Siapapun yang dapat menghubungkan pada penjabaran ini tentang apa yang ada di dalam pikiran pelajar yang sungguh-sungguh pada hari ujian, harus berpikir kembali sebelum merayakan nilai ujian yang tinggi, mengeluh tentang yang rendah, atau menggunakan ujian terstandarisasi untuk menilai sekolah-sekolah...dari Alfie Kohn terjemahan Fitry

Apakah UN/UASBN realistis?

Semakin kau berpikir tentang apa yang “realistis”, seharusnya kau semakin kritis tentang ujian terstandarisasi. Berapa banyak pekerjaan yang mengharuskan para pekerjanya menjawab dengan benar di tempat, dari ingatan, saat waktu berjalan? (Aku dapat memikirkan satu atau dua, tapi mereka adalah pengecualian yang membuktikan aturannya.) Seberapa sering kita dilarang bertanya pada rekan kerja kita untuk membantu, atau untuk bergantung pada organisasi yang lebih besar untuk dukungan—bahkan di sebuah lingkungan masyarakat yang mengagungkan kemandirian? Dan saat seseorang akan menilai kualitas dari pekerjaanmu, apakah kau seorang pematung, penjaga pantai, analis keuangan, profesor, pembantu rumah tangga, pereparasi kulkas, wartawan, atau seorang terapis, seberapa sering kau diberikan ujian tertulis yang dirahasiakan? Bukankah lebih mungkin kalau penilai melihat apa yang telah kau kerjakan, atau mungkin melihatmu menampilkan tugas-tugasmu yang biasanya? Agar konsisten, para kritikus pendidikan—yang dengan marah bersikeras bahwa sekolah seharusnya melakukan yang lebih banyak untuk menyiapkan para pelajar untuk dunia yang sesungguhnya—seharusnya menetapkan sebuah akhir dari ujian-ujian buatan semacam itu yang disebut ujian terstandarisasi...Alfie Kohn diterjemahkan ananda Fitry

Jumat, 01 Agustus 2008

Indonesia kembali berkabung

Kematian Septian Catur Wibowo, bocah 13 tahun yang nekad mengakhiri hidupnya karena kecewa tidak diterima di SMP Negeri di Sidoarjo menambah daftar korban Ujian Nasional yang dijadikan seleksi untuk melanjutkan pendidikan. Korban menuliskan bahwa dia tidak ingin membebani orangtua dengan mahalnya biaya sekolah swasta. Duh!

Jangan biarkan bumi pertiwi ini terus menerus menangisi kepergian anak-anak karena kebijakan para pemimpin yang tak bergeming sedikitpun untuk memperhatikan kepentingan terbaik anak.

Kampanye partai sudah ramai di berbagai daerah, pilkada pun satu per satu dituntaskan. Sudah saatnya menyerukan kembali JANGAN PILIH PEMIMPIN/PARTAI POLITIK YANG MENJADIKAN UN/UASBN SEBAGAI PENENTU KELULUSAN.