Senin, 23 Juni 2008

jurnal advokasi korban UN di Bandung

1. Rapat Persiapan Konferensi pers (16 Juni 2008)

Dihadiri oleh Helmi dari PII serta Ova, Nur, dan Rijal dari KerLiP. Membicarakan alur konferensi pers, pembagian tugas, dan pengumpulan bahan. Alur konferensi pers yang direncanakan pertama adalah pembukaan, menyatakan maksud dan perkenalan. Kedua, membacakan pers rilis. Pers rilis dibacakan Zamzam. Setelah itu tanya jawab. Keseluruhan alur konferensi pers berfokus pada ekses negatif UN (pra, pelaksanaan, dan pasca), dan pembukaan pos pengaduan dan pendampingan bagi korban UN. Ova bertugas untuk menghubungi wartawan, Nur membuat pers rilis dan surat bagi perguruan tinggi, Helmi dan Rijal melakukan perbaikan terhadap rilis dan surat yang dibuat Nur.

2. Konfrensi Pers Selasa, 17 Juni 2008 di Gedung Indonesia Menggugat

Harusnya dimulai pk 12.00, tapi telat hingga Pk. 13.00. Kerusakan tiba-tiba komputer di rumah Nur mengakibatkan pers rilis belum selesai dibuat. Maka Pk. 05.30 (17/6) diputuskan bahwa pembuatan pers rilis dilimpahkan kepada Ova. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan Nur akan segera dikirim ke email Ova pada Pk. 06.30. Bahan-bahan pembuatan terkirim ke email Ova Pk. 08.00. Secepatnya email segera dibuka dan segera menggunduh bahan-bahan yang dikirim Nur. Ova mengusahakan membuat rilis hingga Pk. 10.00 tetapi belum menghasilkan sesuatu, akhirnya Ova menghubungi Zamzam—menyerahkan pengerjaan pers rilis padanya. Ova ada UAS. Zamzam—mungkin dengan terpaksa—menerima. Ova mengirim bahan-bahan kepada Zamzam. Ova merasa tenang menuju ruang ujian. Setibanya di ruang ujian, ternyata telat.

Keadaan Ova pada waktu ujian seperti ini: tangan kanan memegang pulpen, ditangan kiri handphone. Sambil sesekali mengisi kertas jawaban, Ova mengetik sms, karena banyak yang harus didiskusikan dengan zamzam. Akhirnya ujian selesai, tapi ternyata Ova harus berdiskusi dengan teman kelompok. Di tengah-tengah diskusi Zamzam menelepon (saat itu Pk. 11.20), “Va, kayaknya rilis ga selesai deh, bahan-bahannya kurang euy…”. Bingung, panik, tapi memaksa untuk tenang Ova menjawab, “Ya udah Zam, saya aja yang ngerjain, atau kita sama-sama ngerjain yang selesai duluan langsung ke GIM”. Ova segera menulis rilis dengan laptop pinjaman. Menulis dalam keadaan tertekan, karena pak Iwan menelepon terus-menerus dan mengatakan “saya malu udah undang wartawan tapi kok belum ada yang datang”. Pak Iwan pada saat itu sedang di sekolah karena ada kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB). Sebelumnya Ova sms Zamzam menyuruh dia untuk segera ke GIM dan langsung mulai konferensi pers, rilis biar Ova buat dan langsung di fotokopi. Akhirnya rilis selesai tapi saat itu sudah pukul 12.45. Setelah fotokopi Ova meluncur. Sesampainya di GIM konferensi sudah akan selesai, ternyata pak Iwan (yang tadinya tidak dapat hadir karena mengurus PSB) terpaksa menghadiri karena merasa tidak enak dengan wartawan.

Dihadiri oleh PII: Helmi, Feri; GSB: Aldi; KPKB: Pa Iwan (FAGI), Fridolin Berek (LAK), Ova Huzaefah (KerLiP), Zamzam Muzaki (KerLiP), Rijaludin (KerLiP). Pembicaraan mengarah kepada ekses negatif UN (pasca) dikuatkan dengan penelitian KPAI, juga pada pembukaan posko pengaduan UN bagi yang tidak lulus UN. Teman-teman yang tidak lulus UN tentu mengalami kesedihan, kebingungan serta kesulitan. Bingung dengan apa yang harus dilakukan, sedih karena tidak lulus UN, serta segudang kesulitan untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi—terlebih lagi teman-teman lulusan SMK. Selain itu dibahas akurasi dan kualitas penilaian yang tidak adil (kasus Agung yang tidak lulus). Maka kami menuntut pemerintah agar menyerahkan evaluasi belajar kepada pendidik, dan menghimbau masyarakat untuk menggunakan layanan yang kami berikan, serta menghimbau perguruan tinggi agar mau menerima lulusan UNPK.

Press Release

UN KORBANKAN HAK ANAK, ADUKAN SEGERA!!!

UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 dengan tegas menyatakan bahwa “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik……”. Dengan dilaksanakannya UN dan UASBN tahun 2008 yang diikuti sekitar 2.26 juta siswa, lagi-lagi pemerintah inkonsisten dalam melaksanakan UU, pemerintah melanggar UU sisdiknas no 20 tahun 2003. Dengan dilaksanakannya UN dan UASBN tahun ini, makin banyak lagi korban UN yang berjatuhan. Kita patut bangga dengan sikap Amril saat wawancara on air di TV One tanggal 15 Juni  kemarin. Dia adalah satu dari anak-anak yang kembali dikorbankan oleh kebijakan UN. Tiga tahun belajar dan meraih prestasi tinggi di berbagai bidang sirna akibat nilai UN Kimia dibawah standar. Amril tak pantang menyerah, dia tetap berjuang untuk melanjutkan ke PT yang diidam-idamkan. Tekad kuatnya untuk menjadi Presiden dan memperbaiki sistem pendidikan nasional perlu kita dukung. Kontras sekali dengan paparan anggota BSNP yang bersikukuh menjalankan standar nasional pendidikan secara bertahap tanpa memedulikan anak-anak yang terus menerus dikorbankan. Diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan KPAI terhadap pelaksanaan UN/UASBN yang menegaskan bahwa UN dan UASBN sejatinya melanggar Hak Anak. 
            
Gugatan Citizen Law Suit terhadap pemerintah dalam hal ini tergugat Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua BPSNP telah dilakukan sejak tahun 2006. Walaupun dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dikuatkan dengan Pengadilan Tinggi Jakarta telah memenangkan penggugat (warga negara), tetapi tahun pemerintah tetap saja melaksanakan Ujian Nasional yang bebal dengan mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung. Proses kasasi gugatan warga negara yang diwakili korban UN 2006 baru berjalan. Anak-anak tidak boleh dikorbankan atas nama kebijakan pencapaian standar nasional pendidikan secara bertahap. Hasil advokasi korban UN 2006 baru sampai pada eligibilitas ijazah paket A, B, dan C. Meskipun pahit rasanya, karena saat ini baru sampai disini kita perjuangkan hak anak untuk mengembangkan diri melalui pendidikan yang lebih tinggi, kami menggali berbagai sumber penguat. Peserta ujian yang tidak lulus bisa mengikuti ujian kesetaraan paket C yang diselenggarakan pada tanggal 24-27 Juni mendatang. Hari ini masih banyak anak-anak korban UN yang dipaksa pindah jalur ke Paket A, B dan C agar dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk itu kami menuntut kepada pemerintah harus mencabut pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut masalah UN/UASBN. Kembalikan Hak Evaluasi kepada pendidik.
Untuk menanggulangi permasalahan di kalangan siswa, KPKB dalam hal ini KerliP dan PII akan melakukan beberap upaya sbb; Membuka layanan pengaduan sms ke Nur Afiatin 085221603650 atau Ferri 08562259490 atas nama KeLiP dan PII; Kami membuka proses dampingan untuk korban UN; Kami akan melakukan sosialisasi edaran Permendiknas Nomor  107/MPN/MS/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang program kesetaraan ke semua Universitas mulai besok. 
Oleh karena itu, kami menghimbau kepada Korban dan masyarakat untuk memanfaatkan akses yang diberikan KPKB dan PII, dan menghimbau ke Universitas untuk menerima lulusan yang menggunakan ijazah Paket C.
Bandung, 17 Juni 2008 

3. Rapat Koordinasi dengan relawan, PII, ketemu anak yang tidak lulus (Sedang Dibuat jurnalnya)

4. Pendampingan ke UIN (Belum ada/Teh Nur Yang Buat karena beliau yang mendampingi))

5. On-air di RRI (Sedang dibuat)

6. Penyebaran surat (Ke 8 Perguruan Tinggi)

Mengapa UN jadi pintu masuk?

Keluarga Indonesia,

Lebih dari 3 jam, saya bersama teman2 FGII bertandang ke rumah Budiman di Percetakan Negara. Rupanya anggapan bahwa guru adalah perpanjangan tangan rezim begitu melekat di benak antivis sehingga agak sulit memahami ada kelompok guru independen seperti FGII sebagai morganisasi penggiat demokrasi di Indonesia. Lebih rumit lagi memahami mengapa UN menjadi pintu masuk untuk gerakan demokratisasi pendidikan. Kegelisahan tentang beban belajar di SD dan hasrat untuk memperbaiki kurikulum mulai di tingkat SD menjadi wacana yang menarik.
Beberapa agenda bersama pun diusung untuk memperkuat partisipasi guru dan organisasi guru dalam demokrasi di Indonesia. Secara internal FGII membahas agenda tersebut dengan komitmen untuk konsolidasi organisasi.

Setiba di rumah, masuk sms dari Ketua Umum DPP FGII bahwa sejak 1960 Serikat Guru Jepang menjagi motor gerakan mengkritisi kebijakan UN di Jepang. Gerakan ini diususng bersama masyarakat akar rumput. Hasilnya 1969 UN dihapuskan dari Sistem Pendidikan di Jepang. Kita bisa saksikan pesatnya kemajuan pendidikan yang berdampak langsung pada kemajuan pembangunan di Jepang.

Hari ini, Divisi Pendidikan di Kedubes Finlandia menerima Education Forum. Seperti yang sering terdengar, sistem pendidikan di Finlandia menghasilkan anak-anak terbaik. Di sana anak-anak tidak dibebani UN. Ada sistem evaluasi lain yang sudah dikembangkan sejak 1970. Pertanyaannya adalah, bagaimana sistem evaluasi yang memerdekakan anak bisa dilaksanakan di Indonesia?

Education Forum terus fokus melaksanakan advokasi terhadap kebijakan UN untuk mendorong gerakan perbaikan pendidikan

Kamis, 19 Juni 2008

eligibilitas program kesetaraan

Keluarga Indonesia

Apakah harus menunggu korban terus berjatuhan pada usia anak untuk memperbaiki pendidikan?
Kabar yang diterima dari Pak Iwan tentang Agung, siswa SMAN 18 berprestasi dan dapat beasiswa ditolak mendaftar ke Akmil karena tidak lulus UN 2008 dan beberapa anak di SMAN 24 yang khawatir dengan keabsahan ijazah paket C menghantarkanku untuk meminta Depdiknas menerbitkan surat edaran tentang eligibilitas program kesetaraan. Senin lalu begitu fotokopi surat edaran mendiknas tentang eligibilitas Paket A, B, C langsung kusebar melalui email dan surat edaran. Relawan KerLiP di bandung pun mendapat bekal penguat pada saat pers conference Selasa lalu.
Lalu muncul pengaduan dari siswa SMAN 17 Bandung yang diterima di UIN Bandung melalui PMDK dan tidak dapat mendaftar karena tidak lulus UN. Yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa surat edaran tersebut belum disosialisasikan ke PTN/PTS. Bahkan panitia lokal SNMPTN Bandung menolak pendaftar yang menggunakan ijazah Paket C 2008.

Baru saja bersyukur dengan respon dari Dirjen PNFI dan Dirjen Dikti ketika dikonfirmasi masalah ini, Elin mengirim sms tentang berita anak yang bunuh diri di NTT karena tidak lulus UN. Sungguh, penderitaan ini makin tak berujung.

Aku merasakannya sendiri. Sejak kemarin hatiku rusuh karena persiapan putri sulungku untuk mengikuti UNPK. Dia sebenarnya menekuni bahasa melalui homeschooling. Tapi tak ada pilihan lain jika ingin masuk Universitas di Negeri ini harus lulus UN/UNPK. Pendampingan terhadap korban UN 2006 ternyata tidak membuatku sanggup menahan diri ketika masalah ini harus kuhadapi. Bersyukurlah ada teman-teman yang selalu siap mendengarkan dan membantu mencari jalan keluar.

Bagaimana dengan anak-anak yang tak punya keluarga, sahabat dan teman yang mendukung sepenuh hati?

lembaga evaluasi mandiri

LEMBAGA EVALUASI MANDIRI

HENTIKAN AROGANSI BSNP

Adalah hak peserta didik untuk pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara seperti yang diatur dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (1) butir e. Salah satu definisi hak dalam Kamus besar Bahasa Indonesia adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb). Sedangkan pengertian jalur pendidikan menurut UU Sisdiknas pasal 1 ayat 7 adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pada kenyataannya anak-anak yang menjadi korban Ujian Nasional terpaksa pindah jalur karena tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu yang lain. Kekuasaan ada di tangan BSNP yang dengan mudah membuat pernyataan kemudian menariknya kembali atas penafsiran masing-masing terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernyataan Ketua BSNP Djemari Mardapi di Kompas tanggal 11 Juni 2008 bahwa dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2008 Pasal 3 antara lain disebutkan, UNPK dapat diikuti peserta didik yang pindah jalur dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal kesetaraan. Sehari sebelumnya, Kordinator UNPK BNSP M. Yunan Yusuf menyatakan bahwa kebijakan pelarangan UNPK untuk siswa SMK merupakan ketentuan yang diatur dalam PP nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam hitungan jam keluar dua pernyataan yang berbeda yang mengusik rasa keadilan warga negara khususnya anak-anak SMK. Arogansi kekuasaan ini telah mengabaikan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam UU Sisdiknas pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. BSNP memberikan keteladanan salah dalam menggunakan kekuasaan yang diatur dalam PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pemenuhan hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan perlindungan hak-hak anak makin terabaikan.

BSNP menutup mata dari trauma yang dialami anak-anak yang terpaksa mengikuti Paket C seperti yang diutarakan Kristiono tentang anaknya yang terpaksa berganti ijazah PKBM padahal tidak pernah menjalani proses pendidikan pada jalur pendidikan tersebut untuk mengembangkan potensi diri (Kompas, 10/6/2006). Pasal 61 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Wewenang satuan pendidikan terakreditasi dalam menetapkan kelulusan diatur dalam PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 72 ayat (2) Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Fakta yang disodorkan oleh pihak pemerintah saat menghadirkan manajemen sekolah yang berani menetapkan anak tidak lulus dari sekolah tersebut meskipun dinyatakan lulus Ujian Nasional tahun 2006 lalu dalam persidangan gugatan warga negara yang mewakili korban UN 2006 di PN Jakarta Pusat membuktikan bahwa sekolah memiliki kewenangan penuh dalam mengeluarkan ijazah dan menetapkan kelulusan peserta didik. Sungguh bijaksana jika satuan pendidikan terakreditasi seperti SMK kembali menjalankan wewenangnya dalam menetapkan kelulusan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan seluruh aspek perkembangan minat, bakat dan kemampuan peserta didik.

Lembaga Evaluasi mandiri

Evaluasi pendidikan bukan kewenangan BSNP semata. Pembentukan Lembaga Evaluasi Mandiri ini diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UU Sisdiknas: Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan memperjelas kedudukan lembaga evaluasi mandiri dalam Pasal 84 (1)Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk masyarakat (2)Evaluasi sebagai dimaksud pada ayat (1) secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik (3)Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menentukan pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program, dan/atau satuan pendidikan (4)Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara mandiri, independen, obyektif, dan profesional. Pasal 85 (1) Untuk mengukur dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan oleh peserta didik, program dan/atau satuan pendidikan, masyarakat dapat membentuk lembaga evaluasi mandiri; (2)Kelompok masyarakat yang dapat membentuk lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi untuk melakukan evaluasi secara profesional, independen dan mandiri serta penjelasan pasal 85 Ayat (2) Contoh dari kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi tersebut adalah organisasi profesi berbadan hukum yang diakui oleh Pemerintah.

Menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 13 Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Selain mengembangkan profesionalitas guru, organisasi profesi guru mempunyai kewenangan untuk memajukan pendidikan nasional seperti yang disebutkan pada pasal 42. Lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi guru bukan hanya dapat menghentikan arogansi BSNP tapi juga menjalankan evaluasi bukan untuk mengambil alih wewenang satuan pendidikan terakreditas dalam menetapkan kelulusan tapi menjalankan evaluasi sebagaimana yang diatur dalam UU Sisidiknas Pasal 58 (1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. (2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Guru bersatu demi kepentingan terbaik anak takkan bisa dikalahkan. Hidup Guru!


Rabu, 18 Juni 2008

demi kepentingan terbaik anak kok!

acara baru saja mulai ketika aku dan putri kecilku sampai di PKBM Merah Putih milik keluarga Ibu Yuni. Ibu Masnah Sari, ketua KPAI duduk di belakang anak-anak mencermati kisah Ibu Yuni dengan GERAI MERAH PUTIH nya. Nyaris tak ada lagi yang kukenal di pendopo beraroma budaya Jawa ini. Tiba saatnya Kasie PLS Dikmenti Jakarta Selatan menyampaikan sambutannya. Ada beberapa anak yang akan ikut dalam UNPK 2008. Ah, anak-anak...mereka tak tahu kebijakan UN dan UNPK telah merenggut korban teman-teman sebaya mereka.

Anak-anak adalah pemilik republik ini. Namun mereka lebih sering dijadikan tumbal. Setiap sen yang masuk dari jajanan sehari-harinya menghidupi para gegeden tersebut belum menempatkan kepentingan terbaik anak-anak ini sebagai prinsip pengelolaan politik dan kekuasaan. Bahkan ketidaktahuan anak-anak yang antusias menyambut pelaksanaan UNPK (dan UN) telah dijadikan dalih untuk melanggengkan arogansi politik dan kekuasaan. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mengingatkan para pemangku kepentingan untuk mengelola negeri ini demi kepentingan terbaik anak-anak juga.

Saat ini nasib anak-anak korban UN sedang menunggu hasil kasasi. KPAI sedang menyiapkan dialog partai politik untuk membangun sistem pendidikan nasional ramah anak. Adakah cara lain yang lebih efektif? Ditunggu

Senin, 16 Juni 2008

ANAK-ANAK KEMBALI DIKORBANKAN

Kita patut bangga dengan sikap Amril saat wawancara on air di TV one tadi pagi. Dia adalah satu dari anak-anak yang kembali dikorbankan oleh kebijakan UN. Tiga tahun belajar dan meraih prestasi tinggi di berbagai bidang sirna akibat nilai UN Kimia dibawah standar. Amril tak pantang menyerah, dia tetap berjuang untuk melanjutkan ke PT yang diidam-idamkan. Tekad kuatnya untuk menjadi Presiden dan memperbaiki sistem pendidikan nasional perlu kita dukung. Kontras sekali dengan paparan anggota BSNP yang bersikukuh menjalankan standar nasional pendidikan secara bertahap tanpa memedulikan anak-anak yang terus menerus dikorbankan.

Mengorbankan hak anak untuk alasan apapun apalagi sekedar untuk pencapaian standar nasional pendidikan tidak dibenarkan. Lima tahun setelah UU Perlindungan Hak Anak disahkan, ternyata belum tersosialisasikan dengan baik bahkan di kalangan pemangku kebijakan. Mari konsisten menjalankan amanat konstitusi demi kepentingan terbaik bangsa Indonesia.
Jangan pilih lagi pemimpin, presiden, wakil presiden, partai politik yang mengorbankan hak anak untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaaan.

Ujian Nasional korbankan hak anak

Kamis, 12 Juni 2008

perjalanan masih panjang

keluarga Indonesia,

Tak pernah terlintas sedikitpun bila kini aku mulai terbiasa bolak-balik ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Sejak gugatan citizen law suit disidangkan, meja hijau itu jadi akrab dengan keseharianku. Senin lalu, bersama Pak Kristiono ayah Indah yang tak pernah absen hadir menemani Tim Advokasi Korban UN meski lingkar matanya divonis kena pendarahan dan katarak, Ibu Tri yang tertatih-tatih menuntun motornya karena tak kuat lagi naik bis, Gatot pengacara korban yang tanpa lelah menyiapkan pembelaan lengkap dan cerdas bagi kami, keluarga yang tidak hanya peduli pendidikan tapi juga berjuang agar hak anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dilindungi.

Minggu ini adalah penantian panjang untuk menunggu keputusan Hakim Mahkamah Agung terhadap kasasi yang diajukan para pengayom negara ini : Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan BSNP. Sungguh tak ada alasan lain kami berjuang tanpa henti dengan cara yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak anak tumbuh kembang sesuai minat, bakat dan tingkat kemampuannya. Mudah-mudahan majelis hakim di Mahkamah Agung membuka nurani untuk mendengar lirihnya suara korban UN untuk memperbaiki kualitas pendidikna di negeri ini. Semoga!